MENYAMBUT SANG DEKLARATOR

Tampak suasana kemulian penyambuatanTengku Hasan Muhammad di Tiro

Antusiasnya Ribuan warga Utara dan Kota Lhokseumawe (wilayah Pasé) serta
anggota GAM/KPA dan simpatisan Partai Aceh tumpah di Lapangan Hiraq
Lhokseumawe untuk menyambut kedatangan
Wali Nanggroe Tgk Hasan Muhammad Di Tiro,

Sabtu (18/10), sekitar pukul 16.25 WIB



Silsilah Raja-Raja Aceh


MENGUAK pertalian Raja-raja Aceh Sejak Kerajaan Perlak Sebuah buku berjudul “Silsilah Raja-Raja Islam di Aceh dan Hubungannya dengan Raja-Raja Islam di Nusantara,” diterbitkan pelita Gading Hidup Jakarta, ditulis Pocut Haslinda Syahrul Muda Dalam, mencoba menguak pertalian raja-raja di Aceh sejak pra Islam.

dalam suatu forum di Balai Kartini, Jakarta, 16 Nopember 2008 silam. Malam harinya, di gedung yang sama dipentaskan “drama musikal” yang memuat informasi silsilah raja-raja Aceh tersebut serta peranan kaum perempuan Aceh sejak abad VIII dampai abad XXI. Pentas itu disutradari Dedi Lutan berdasarkan nasakah yang ditulis Pocut Haslinda Syahrul MD binti Teuku H Abdul Hamid Azwar, waris Tun Sri Lanang ke-8.

Sebetulnya masih ada tiga buku lain yang dihasilkan Pocut Haslinda dalam waktu bersamaan, yaitu “Perempuan Aceh dalam Lintas Sejarah Abad VIII-XXI, Tun Sri Lanang dan Terungkapnya Akar Sejarah Melayu, dan Dua Mata Bola di Balik Tirai Istana Melayu.”

Untuk menggenapi informasi “Silsilah Raja-Raja Aceh” dan ketiga bukunya itu, Pocut Haslinda, pernah menempuh pendidikan fashion dan model di Paris, Jerman, dan London (1965-1970) membaca lebih dari 1000 judul buku ditulis oleh penulis dalam dan luar negeri.

Buku “Silsilah Raja-Raja Aceh” itu secara sederhana mencoba menarik garis pertautan raja-raja Aceh sejak awal abad ke 8 pada masa Kerajaan Perlak, kemudian berkembang menjadi kerajaan-kerajaan lain di Aceh, termasuk persinggungan yang sangat penting dan fundamental dengan Kerajaan Isaq di Gayo, dan pertautan raja-raja Aceh dengan Perak, Johor, Deli-Serdang, Majapahit, Demak, Wali Songo dan sebagainya.

Kisah kedatangan satu delegasi dagang dari Persia di Blang Seupeung, pusat Kerajaan Jeumpa yang ketika itu masih menganut Hindu Purba. Salah seorang anggota rombongan bernama Maharaj Syahriar Salman, Pangeran Kerajaan Persia yang ditaklukkan pada zaman Khalifahtur Rasyidin. Salman adalah turunan dari Dinasti Sassanid Persia yang pernah berjaya antara 224 - 651 Masehi. Setelah penaklukkan, sebahagian keluarga kerjaan Persia ada yang pergi ke Asia Tenggara.

Kerajaan Jeumpa, ketika itu dikuasai Meurah Jeumpa. Maharaj Syahriar Salman kemudian menikah dengan putri istana Jeumpa bernama Mayang Seludang. Akibat dari perkawinan itu, Maharaj Syahriar Salman tidak lagi ikut rombongan niaga Persia melanjutkan pelayaran ke Selat Malaka. Pasangan ini memilih “hijrah” ke Perlak (sekarang Peureulak,red), sebuah kawasan kerajaan yang dipimpin Meurah Perlak.

Meurah Perlak tak punya keturunan dan memperlakukan “pengantin baru” itu sebagai anak. Ketika Meurah Perlak meninggal, kerajaan Perlak diserahkan kepada Maharaj Syahriar Salman, sebagai Meurah Perlak yang baru. Perkawinan Maharaj Syahriar Salman dan Putri Mayang Sekudang dianugerahi empat putra dan seroang putri; Syahir Nuwi, Syahir Dauli, Syahir Pauli, SyahirTanwi, dan Putri Tansyir Dewi.

Syahir Nuwi di kemudian hari menjadi Raja Perlak yang baru menggantikan ayahandanya. Dia bergelar Meurah Syahir Nuwi. Syahir Dauli diangkat menjadi Meurah di Negeri Indra Purba (sekarang Aceh Besar, red). Syahir Pauli menjadi Meurah di Negeri Samaindera (sekarang Pidie), dan si bungsu Syahir Tanwi kembali ke Jeumpa dan menjadi Meurah Jeumpa menggantikan kakeknya. Merekalah yang kelak dikenal sebagai “Kaom Imeum Tuha Peut” (penguasa yang empat). Dengan demikian, kawasan-kawasan sepanjang Selat Malaka dikuasai oleh keturunan Maharaj Syahriar Salman dari Dinasti Sassanid Persia dan Dinasti Meurah Jeumpa (sekarang Bireuen).

Sementara itu, Putri Tansyir Dewi, menikah dengan Sayid Maulana Ali al-Muktabar, anggota rombongan pendakwah yang tiba di Bandar Perlak dengan sebuah kapal di bawah Nakhoda Khalifah. Kapal itu memuat sekitar 100 pendakwah yang menyamar sebagai pedagang. Rombongan ini terdiri dari orang-orang Quraish, Psalestina, Persia dan India. Rombongan pendakwah ini tiba pada tahun 173 H (800 M). Sebelum merapat di Perlak, rombongan ini terlebih dahulu singgah di India.

Syahir Nuwi yang menjadi penguasa Perlak menyatakan diri masuk Islam, dan menjadi Raja Perlak pertama yang memeluk Islam.Sejak itu, Islam berkembang di Perlak. Perkawinan Putri Tansyir Dewi dengan Sayid Maulana Ali al-Muktabar membuahkan seorang putra bernama Sayid Maulana Abdul Aziz Syah, yang kelak setelah dewasa dinobatkan sebagai Sultan Alaidin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah, sultan pertama Kerajaan Islam Perlak, bertepatan dengan 1 Muharram 225 Hijriah.

Sayid Maulana Ali al-Muktabar (Ada yg mengatakan beliau adalah berpaham syiah, tapi hal tersebut tidak bisa dibuktikan " 
MENGUPAS FAHAM ISLAM PERTAMA MASUK KE ACEH " ), merupakan putra dari Sayid Muhammad Diba‘i anak Imam Jakfar Asshadiq (Imam Syiah ke-6" masih perlu penjelasan") anak dari Imam Muhammad Al Baqir (Imam Syiah ke-5"  masih perlu penjelasan" ), anak dari Syaidina Ali Muhammad Zainal Abidin, yakni satu-satunya putra Syaidina Husen, putra Syaidina Ali bin Abu Thalib dari perkawinan dengan Siti Fatimah, putri dari Muhammad Rasulullah saw. Lengkapnya silsilah itu adalah: Sultan Alaidin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah bin Sayid Maulana Ali-al Muktabar bin Sayid Muhammad Diba‘i bin Imam Ja‘far Asshadiq bin Imam Muhammad Al Baqir bin Syaidina Ali Muhammad Zainal Abidin Sayidina Husin Assyahid bin Sayidina Alin bin Abu Thalib (menikah dengan Siti Fatimah, putri Muhammad Rasulullah saw).

Keikutsertaan Sayid Maulana Ali al-Muktabar dalam rombongan pendakwah merupakan penugasan dari Khalifah Makmun bin Harun Al Rasyid (167-219 H/813-833 M) untuk menyebarkan Islam di Hindi, Asia Tenggara dan kawasan-kawasan lainnya. Khalifah Makmun sebelumnya berhasil meredam “pemberantakan” kaun Syiah di Mekkah yang dipimpin oleh Muhammad bin Ja‘far Ashhadiq.

Raja Isaq Gayo dan Turunannya
Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Syah Johan Berdaulan memiliki tiga putra; Meurah Makhdum Alaiddin Ibrahim Syah, kemudian menjadi Sultan ke-8; Maharaja Mahmud Syah yang kemudian menjadi Raja Salasari Islam I di Tanoh Data (Cot Girek); Meurah Makhdum Malik Isaq (Isak) mendirikan Negeri Isaq I.

Meurah Isaq memiliki putra bernama Meurah Malik Masir yang juga dikenal sebagai Meurah Mersa alias Tok (Tuk) Mersa, diangkat sebagai Raja Isaq II mernggantikan ayahandanya. Tok Mersa memiliki tujuh putra yakni: 1) Meurah Makhdum Ibrahim mendirikan Negeri Singkong. Cucu Meurah Makhdum ini bernama Malikussaleh di kemudian hari mendirikan Kerajaan Samudra Pasai. 2) Meurah Bacang mendirikan Kerajaan Bacang Barus. 3) Meurah Putih mendirikan Kerajaan Beuracan Merdu. 4) Meurah Itam mendirikan Kerajaan Kiran Samalanga. 5) Meurah Pupok mendirikan Kerajaan Daya Aceh Barat. 6) Merah Jernang mendirikan kerajaan Seunagan. 7) Meurah Mege (Meugo) menjadi Raja Isaq III.

Dari turununan Meurah Mege lahir Sultan Abidin Johansyah pendiri Kerajaan Aceh Darussalam (1203-1234) sampai Sultan Daud Sjah (1874-1939). Turunen Meurah Mege lain, Syekh Ali al Qaishar anak dari Hasyim Abdul Jalil hijrah ke Bugis dan menikah dengan putri bangsawan Bugis yang kelak cucu psangan ini bergelar Daeng. Di antara anak-cucunya, ada yang pulang ke Aceh bernama Daeng Mansur atau Tgk Di Reubee dan mempunyai seorang putra bernama Zainal Abidin dan seorang putri bernama Siti Sani yang dinikahi Sultan Iskandar Muda.

Di tanah Jawa, Turunan Tok Mersa bernama Puteri Jempa nikah dengan Raja Majapahit terakhir kemudian lahir Raden Fattah yang menjadi Raja Demak. Turunen Tok Mersa lain, yakni Fatahillah menyusul ke Jawa menikah dengan adik Sultan Demak. Fatahillah mendirikan kerajaan Cirebon dan anaknya mendirikan Kerajaan Banten. Fatahillah dikenal juga Sunan Gunung Jati menikah dengan Ratu Mas anak Raden Fattah, cucu Majapahit, keturunannya turun temurun menjadi raja dan pembangun Demak, Cirebon, Banten dan Walisongo.

Melihat pertautan raja-raja Aceh itu, jelasnya bagi kita bagaimana sebenarnya hubungan erat satu sama lain. Pada awalnya, mereka berangkat dari “indatu” yang sama dari Perlak. (fikar w.eda)
Penulis: Fikar W Eda
Sumber Harian Serambi Indonesia

SEJAUH MANAPUN AKU MELANGKAH KU TETAP ACHEH


Identitas Tak Menghalangi Usahanya

Kendatipun sang surya tak terbendung awan hitam, teriknya tak mampu menanggalkan baju tebal yang melapisi kulit, hawa sejuk tetap menembus tulang memaksa para pelancong merangkul badan. Senyum sapa para penjaja dagangan menambah kenyamanan menikmati godaan. Tak terkecuali, nuansa yang sama juga dirasakan M.Nasir (42) ketika pertama sekali berpijak dibumi Brastagi.

Empat belas tahun yang lalu, hasrat muda alumni 1985 SPG (Sekolah Pendidikan Guru) Meulaboh ini untuk mengubah hidup agar lebih maju kian tepadu. Melangkah dengan pasti meninggalkan pekerjaan yang telah digelutinya selama empat tahun di PT.Asuransi Bumi Putra Rayon Banda Aceh. Dengan mengharap ridha dari Allah dan tekat yang bulat, awal tahun 1994 iapun berlalu meninggalkan Aceh, Batam adalah tujuan hijjrahnya.

Akan tetapi, belum sempat menggantung asa di ranah melayu kepulauan Riau, lelaki asal Aceh Barat Daya ini terlebih dulu merasakan kesejukan udara gunung Sibayak. Hingga hatinya pun tertamban pada gadis bernama Mulyana br Ginting (35) warga Demerel Kecamatan Brastagi Kabupaten Tanah Karo Sumatra Utara.
Bermodalkan keyakinan, pria manis berkumis tebal ini mengarungi bahtera rumah tangga dengan berniaga untuk menggepulkan asap dapur keluarganya. Kehidupannya kian termaknai, usahanya pun semakin berkembang, dari menjual kain keliling sehingga memiliki empat toko souvenir. Walhasil begitu menggembirakan, saat hari-hari biasa 300 – 500 ribu rupiah dapat terkumpulkan, jika hari libur tiba, keempat toko yang di kelola oleh keluarga ini mampu meraup rupiah 1 – 2 juta dari masing-masing toko perharinya. Kini selain mampu membangun rumah 15x13 yang berlokasi hanya 35 meter dari tempat usahanya, ia juga tak perlu sibuk menitip belanjaan pada orang lain, karena dapat dibeli sendiri sesuai dengan kebutuhan kedai/toko yang langsung meluncur dengan mobil pribadinyanya.

Masa berlalu laksana air yang mengalir, kakak dari ketiga anaknya telah berusia 12 tahun. “Tetapi, Aceh Loen Hana Gadoh (Aceh saya tidak hilang)”, ujar pengurus Aceh Sepakat ini dengan semangat. Hal ini juga, saya tanamkan pada ke empat anak saya, minimal harus pandai bahasa Aceh agar mereka mengenal siapa ayahnya, karena kami hidup dikomonitas karo tentu dengan mudah bagi meraka mengerti siapa ibunya, ujarnya lagi. Kerinduan akan kampung halaman kadang tak dapat terbendung, dan mengambil segala resiko ketika Aceh masih dalam konflik sangatlah mustahil, “ibu anak-anak tidak pernah melarang saya untuk sering pulang Ke Aceh, tetapi ke empat anak saya masih sangat membutuhkan kehadiran ayahandanya”.

Kuah asam keueng (kuah asam pedas/salah satu masakan khas Aceh) sedikitnya mampu mengobati hasrat hati akan tanah kelahiran yang tengah didera konflik masa itu. Sebab itu juga ia mempekerjakan beberapa saudara dekatnya, dengan hadirnya mereka anak-anak dapat mengasah lagi bahasa Aceh disamping darinya bisa menikmati hidangan masakan khas Aceh.

“Walau pada awalnya datang kesini saya merasa tidak betah, lama-lama jadi enak juga”, ujar Nurul Latifah (25) ponakan M.Nasir, “apalagi ketika adik sepupu saya selalu berusaha berbahasa Aceh baik di rumah maupun di kedai”, ujarnya lagi. “Nyan Ureung Aceh Kak nyoeh” (itu orang Aceh kan) tanya A.Ika pada kakak sepupunya seolah membuktikan bahwa ia pandai bahasa ayahnya. “Lagi pula saya disini dapat bekerja dan punya uang”, kata Latifah lagi, “nyoe goebnya le that ka peng” (ya dia sudah banyak uang) potong gadis kecil ini yang selalu menemaninya di kedai usai sekolah.

“Mak, aku sangana encakap ras kalak sada kuta” (mak, saya lagi berbicara dengan orang saya), teriak siswa kelas 6 MIS ketika melihat ibunya datang. “Kai Britana” (apa kabarmu), tanya teman bicara mereka yang sama dari Aceh dengan bahasa karo yang diajarkan A.Ika, “Alhamdulillah sehat, dari Aceh Panee” (dari Aceh mana) jawabnya dengan ramah menggunkan bahasa Aceh seakan ia juga telah bisa bahasa ayah anak-anaknya.

“Sekarang, Teungku (masyarakat setempat memanggil Nasir) sering pulang ke Aceh, setelah damai ia dapat sedikit proyek di sana, saya serta anak-anak sering di ajak pulang”, cerita ibu empat anak ini. A.Ika sangat senang dan mau masuk SMP di Aceh tamat SD nanti, ujarnya lagi.

Mendapatkan sesuatu yang kita harapkan dalam perjalanan, bukan berarti harus melupakan dari mana kita datang. “Belumlah seberapa yang saya peroleh dan belum juga terlalu jauh saya pergi dibandingkan orang lain, tapi mereka tidak lupa diri”, kata Nasir. Satu hal yang kadang, saya malu menjawab, ketika anak saya bertanya kenapa anak Aceh, lahir serta dibesarkan dan beribu-bapak Aceh, tapi tidak bisa bahasa Aceh.

saya ingin kedepan anak saya tidak canggung, makanya saya lagi berbuat sesuatu untuk anak-anak saya selagi peluang itu masih ada ketika pulang ke Aceh begitu juga sebaliknya, ucapnya penuh harap. Moga saja……….”Team seurayung.co.cc

Team Seurayung 4 Jam di kawasan rawan bencana

Pada Jum’at pagi 28 Nopember 2008, langit mendung menutupi kota Lhokseumawe, kami tetap mengambil keputusan untuk berangkat sesuai rencana menuju tempat relokasi warga Alue Peunaga di gampong Alue Nireh Kec. Bendahara Kabupaten Aceh Tamiang, seharian dalam perjalanan dari Lhokseumawe hujan terus menguyur menyirami seurayung hingga sampai ke Kabupaten Aceh Tamiang, sesampai disana, Asmuni (team) menghubungi rekanya pak Adna untuk menyewa bot ketek, salah satu alat trasportasi yang di pakai warga. Team seurayung mulai menaiki bot tradisional, jarak tempuh selama lebih kurang 2 jam, mengarungi kuala peunaga yang konon cerita kula ini di huni 6 ekor buaya, sambil menikmati pemandangan sepanjang Alue Peunaga, tak sadar tepi pantai gampong Aleu Nireh sudah mulai nampak, nahkoda bot dengan sangat terampil memasuki termaga…(video perjalanan)

Dalam kesempatan itu Seurayung sempat mewawan carai Tgk Mansur (tokoh masyarakat) menurut keterangan mantan warga Alue Peunaga," saat bencana gempa dan gelombang tsunami 26 Desember 2004 lalu, banyak korban dan rumah di pesisir pantai itu hancur serta sejumlah bot milik nelayan rusak. Ombak besar di kawasan pantai ini bukan hanya ketika tsunami datang, tapi hampir setiap air pasang, ombak laut tetap ganas hingga air berhamburan ke rumah-rumah warga dan saat banjir bandang pun gampong kami juga kebagian bencana".Sumber berita serambinews.com Pemkab Aceh Tamiang telah menyediakan lahan seluas 750 hektar untuk relokasi warga agar tidak lagi bertahan hidup di tepi pantai sampai hari ini apa yang pernah di janjikan pemerintah baru rumah dengan tipe rumah sangat sederhana (RSS) yang tampak sedangkan sarana air bersih dan sarana listrik dari PLN sampai sejauh ini belum ada tanda-tanda.

Bibalik potret perjalanan seurayung tampak sarana ibadah sedang tahap pekerjaan, menurut Tgk.Mansur sarana ibadah ini di bantu oleh BRR NAD-Nias, dan Tgk.Mansur menambahkan "pernah juga pemerintah menjanjikan akan diberikan lahan untuk bertani seluas 2 hektar, tapi semua itu masih seperti mimpi dan harapan yang tak pernah kesampaian".

Saat seurayung menulis perjalanan ini sebagian warga hingga saat ini masih juga tetap bertahan di Desa Kuala Peunaga dengan diiringi ancaman maut yang selalu melirik mangsanya.(seurayung.co.cc) > maaf bahasa tulisan saya masih sederahan & banyak kekurangan…