Identitas Tak Menghalangi Usahanya
Kendatipun sang surya tak terbendung awan hitam, teriknya tak mampu menanggalkan baju tebal yang melapisi kulit, hawa sejuk tetap menembus tulang memaksa para pelancong merangkul badan. Senyum sapa para penjaja dagangan menambah kenyamanan menikmati godaan. Tak terkecuali, nuansa yang sama juga dirasakan M.Nasir (42) ketika pertama sekali berpijak dibumi Brastagi.
Empat belas tahun yang lalu, hasrat muda alumni 1985 SPG (Sekolah Pendidikan Guru) Meulaboh ini untuk mengubah hidup agar lebih maju kian tepadu. Melangkah dengan pasti meninggalkan pekerjaan yang telah digelutinya selama empat tahun di PT.Asuransi Bumi Putra Rayon Banda Aceh. Dengan mengharap ridha dari Allah dan tekat yang bulat, awal tahun 1994 iapun berlalu meninggalkan Aceh, Batam adalah tujuan hijjrahnya.
Akan tetapi, belum sempat menggantung asa di ranah melayu kepulauan Riau, lelaki asal Aceh Barat Daya ini terlebih dulu merasakan kesejukan udara gunung Sibayak. Hingga hatinya pun tertamban pada gadis bernama Mulyana br Ginting (35) warga Demerel Kecamatan Brastagi Kabupaten Tanah Karo Sumatra Utara.
Bermodalkan keyakinan, pria manis berkumis tebal ini mengarungi bahtera rumah tangga dengan berniaga untuk menggepulkan asap dapur keluarganya. Kehidupannya kian termaknai, usahanya pun semakin berkembang, dari menjual kain keliling sehingga memiliki empat toko souvenir. Walhasil begitu menggembirakan, saat hari-hari biasa 300 – 500 ribu rupiah dapat terkumpulkan, jika hari libur tiba, keempat toko yang di kelola oleh keluarga ini mampu meraup rupiah 1 – 2 juta dari masing-masing toko perharinya. Kini selain mampu membangun rumah 15x13 yang berlokasi hanya 35 meter dari tempat usahanya, ia juga tak perlu sibuk menitip belanjaan pada orang lain, karena dapat dibeli sendiri sesuai dengan kebutuhan kedai/toko yang langsung meluncur dengan mobil pribadinyanya.
Masa berlalu laksana air yang mengalir, kakak dari ketiga anaknya telah berusia 12 tahun. “Tetapi, Aceh Loen Hana Gadoh (Aceh saya tidak hilang)”, ujar pengurus Aceh Sepakat ini dengan semangat. Hal ini juga, saya tanamkan pada ke empat anak saya, minimal harus pandai bahasa Aceh agar mereka mengenal siapa ayahnya, karena kami hidup dikomonitas karo tentu dengan mudah bagi meraka mengerti siapa ibunya, ujarnya lagi. Kerinduan akan kampung halaman kadang tak dapat terbendung, dan mengambil segala resiko ketika Aceh masih dalam konflik sangatlah mustahil, “ibu anak-anak tidak pernah melarang saya untuk sering pulang Ke Aceh, tetapi ke empat anak saya masih sangat membutuhkan kehadiran ayahandanya”.
Kuah asam keueng (kuah asam pedas/salah satu masakan khas Aceh) sedikitnya mampu mengobati hasrat hati akan tanah kelahiran yang tengah didera konflik masa itu. Sebab itu juga ia mempekerjakan beberapa saudara dekatnya, dengan hadirnya mereka anak-anak dapat mengasah lagi bahasa Aceh disamping darinya bisa menikmati hidangan masakan khas Aceh.
“Walau pada awalnya datang kesini saya merasa tidak betah, lama-lama jadi enak juga”, ujar Nurul Latifah (25) ponakan M.Nasir, “apalagi ketika adik sepupu saya selalu berusaha berbahasa Aceh baik di rumah maupun di kedai”, ujarnya lagi. “Nyan Ureung Aceh Kak nyoeh” (itu orang Aceh kan) tanya A.Ika pada kakak sepupunya seolah membuktikan bahwa ia pandai bahasa ayahnya. “Lagi pula saya disini dapat bekerja dan punya uang”, kata Latifah lagi, “nyoe goebnya le that ka peng” (ya dia sudah banyak uang) potong gadis kecil ini yang selalu menemaninya di kedai usai sekolah.
“Mak, aku sangana encakap ras kalak sada kuta” (mak, saya lagi berbicara dengan orang saya), teriak siswa kelas 6 MIS ketika melihat ibunya datang. “Kai Britana” (apa kabarmu), tanya teman bicara mereka yang sama dari Aceh dengan bahasa karo yang diajarkan A.Ika, “Alhamdulillah sehat, dari Aceh Panee” (dari Aceh mana) jawabnya dengan ramah menggunkan bahasa Aceh seakan ia juga telah bisa bahasa ayah anak-anaknya.
“Sekarang, Teungku (masyarakat setempat memanggil Nasir) sering pulang ke Aceh, setelah damai ia dapat sedikit proyek di sana, saya serta anak-anak sering di ajak pulang”, cerita ibu empat anak ini. A.Ika sangat senang dan mau masuk SMP di Aceh tamat SD nanti, ujarnya lagi.
Mendapatkan sesuatu yang kita harapkan dalam perjalanan, bukan berarti harus melupakan dari mana kita datang. “Belumlah seberapa yang saya peroleh dan belum juga terlalu jauh saya pergi dibandingkan orang lain, tapi mereka tidak lupa diri”, kata Nasir. Satu hal yang kadang, saya malu menjawab, ketika anak saya bertanya kenapa anak Aceh, lahir serta dibesarkan dan beribu-bapak Aceh, tapi tidak bisa bahasa Aceh.
saya ingin kedepan anak saya tidak canggung, makanya saya lagi berbuat sesuatu untuk anak-anak saya selagi peluang itu masih ada ketika pulang ke Aceh begitu juga sebaliknya, ucapnya penuh harap. Moga saja……….”Team seurayung.co.cc”