WALI DAN PERJUANGAN RAKYAT ACEH

Misi Damai
Kepulangan wali nanggroe (Tgk Hasan di Tiro) 11 Oktober 2008 lalu, punya kesan khas bagi ureueng Aceh. Karena dapat melihat wajah langsung sekaligus mendengar amanah dari tokoh yang 30 tahun melagenda itu. Maka tidak heran kehadirannya disambut haru-biru rakyat sebagaimana disaksikan di Masjid Baiturrahman, Banda Aceh. Peristiwa tersebut bagaikan pengulangan sejarah ketika rakyat berbondong-bondong datang ke Banda Aceh untuk mendukung perjuangan referendum tahun 1999. Saya mempersonifikasi kepulangan wali ke Aceh yang disambut ribuan rakyat, seperti sejarah Ayatullah Imam Khomeini di Iran, tahun 1979 yang pulang ke negerinya

Sebenarnya wali nanggroe Tgk Hasan di Tiro sejak bermukim di luar negeri pernah beberapa kali pulang ke Aceh, dan terakhir tahun 1976. Dalam catatan hariannya yang berjudul The Prince of Freedom: The Unfinished Diary of Teungku Hasan Tiro(1981), tersebut ia ke Aceh pada 30 Oktober 1976 dari rute Seattle Amerika Serikat, Tokyo, Hongkong, dan Thailand, dan melalui jalur laut, ia masuk Aceh.

Wali ketika itu mendarat di Desa nelayan Pasie Lhok, Pidie yang disambut oleh sejumlah pasukan bersenjata lengkap dipimpinan M.Daud Husin (Daud Paneuk). Beliau pulang ke Aceh itu untuk memimpin perjuangan rakyat melawan pemerintah Indonesia. Hingga pada 4 Disember 1976, wali Tgk Hasan Tiro memproklamirkan perjuangan Aceh Merdeka (GAM) di bukit Cokan pedalaman Kecamatan Tiro.

Wali memimpin perjuangan Aceh setelah kegagalan Darul Islam Aceh pimpinan Teungku Daud Beuereueh, ulama kharismatik yang juga guru Tgk. M. Hasan di Tiro. GAM sendiri adalah nama lain dari Acheh Sumatra National Liberation Front (ASNLF). Perjuangan itu, menurut Hasan Tiro, sebagai lanjutan perjuangan rakyat Aceh mempertahankan kemerdekaan dari penjajahan Belanda sejak tahun 1873. Perjuangan rakyat yang sudah berlangsung 125 tahun, dan Aceh tidak pernah menyerah kepada Belanda.

Jika Aceh sekarang ini berada di bawah Indonesia, menurut Wali Nanggroe, adalah kesalahan Belanda yang telah menyerahkan kedaulatan Aceh kepada Indonesia tahun 1949. Jadi Aceh merupakan sebuah wilayah yang lepas dari Indonesia dan memiliki identitas serta pemerintahaan sendiri (Lukman Thaib 1997:46). Alasan-alasan tersebut yang kemudian menimbukan konflik politik yang berkepanjangan (32 tahun) antara Aceh dengan Jakarta, hingga berakhir dengan ditandatangani MoU damai di Helsinki, 15 Agustus 2005. Konflik Aceh-Jakarta, telah mengorbankan harta dan ribuan nyawa rakyat Aceh. Dan itu adalah cacatan sejarah pahit rakyat.

Menurut Moch Nurhasim (2008: 67), sebelum GAM diproklamirkan pada tahun1976, Tgk Hasan sendiri sudah terlibat perjuangan DI/TII, khusunya di Amerika Serikat. Hal itu dapat disimak dari catatan-catatan Tgk Hasan, bagaimana pemikiran dan gagasan beliau tentang Indonesia.

Lewat GAM, beliau menginginkan Aceh seperti konsep masa lalu NegaraAceh pada zaman Iskandar Muda, yang makmur dan Berjaya. Itu tercermin dalam beberapa tulisannya saat masih menjadi mahasiswa fakultas hukum pada Columbia Universiti dan sebagai Staf Perwakilan Indonesia di New York. Pada September 1954. Nama Tgk. M Hasan di Tiro kemudian populer sejak beliau memproklamirkan dirinya sebagai “Duta Besar Republik Islam Indonesia” di Amerika Serikat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan sebuah surat terbuka yang dkirim kepada Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Efek dari surat tersebut, paspor diplomatik beliau sempat dibekukan atas perintah Perdana Menteri, sehingga Tgk M Hasan di Tiro sempat ditahan oleh pihak Imigrasi dan terkantung-kantung di Amerika untuk beberapa bulan.


 Misi damai

Kepulangan Tgk Hasan di Tiro kali ini ( 11 Oktobber 2008), pastilah bukan seperti kepulangannya pada tahun 1976 lalu yang akan memimpin pasukan dan mendekralasi perjuangan Aceh. Kali ini Wali Nangroe, pulang ke tanah indatu semata untuk misi perdamaian, dan melanggeng damai yang diawali MoU Helsinky.

Artinya, spirit perjuangan rakyat Aceh saat ini adalah berjuang mengubah nasib agar damai bisa langgeng, dan rakyat beroleh kemakmuran. Itu sebenarnya yang menjadi inti pesan Wali dalam setiap pertemuan maupun ceramah politik di Aceh. Seperti ungkapan beliau “ Di dalam perang kita telah banyak pengorbanan, akan tetapi dalam kedamaian kita harus bersedia berkorban lebih banyak lagi. Memang, biaya perang sangat mahal akan tetapi biaya memelihara perdamaian jauh lebih mahal. Peliharalah perdamaian ini untuk kesejahteraan kita semua”.

Perundingan perdamaian yang panjang seru dan alot antara pihak GAM dan pihak Pemerintah Indonesia di Helsinki, Finlandia, katanya, telah menghasilkan kesepakatan yang dinamakan Memorandum of Understanding ( MoU) yang ditandatangani oleh pihak GAM dan RI pada 15 Agustus 2005. Itu merupakan dasar pijakan hukum bagi terciptanya kebebasan dan perdamaian yang menyeluruh, berkelanjutan serta bermartabat bagi semua pihak.

Pernyataan tersebut, tentu bermakna jauh bagi membina perdamaian serta perjuangan Aceh ke depan. Rakyat Aceh harus membangun perdamaian dan perjuangan politik dalam lunas-lunas demokrasi, dan menciptakan self goverment di Aceh. Ini harus dapat dibaca kemana arah perjuangan Aceh selanjutnya.

Perjuangan bersenjata telah beliau tinggalkan. Kini rakyat Aceh berjuang secara politik untuk menentukan masa depannya yang lebih bermartabat. Hal itu juga ditegaskan Wali Nannggroe dalam pidatonya di Hotel Concorde Syah Alam Selangor. Ia mengajak rakyat Aceh agar tidak lupa sejarah. Dalam konteks ini adalah berkaitan dengan sejarah perjuangan politik rakyat Aceh serta sejarah kejayaan Aceh ketika masih berdiri teguh sebagai satu wilayah yang bermartabat.

Wali nanggroe telah kembali ke luar negeri (Swedia) setelah 14 hari berada di tanah kelahirannya. Namun, apakah rakyat Aceh dapat menangkap pesan-pesan yang telah pernah beliau sampaikan? Apakah perjuangan politik akan memihak rakyat Aceh, dengan kemenangan wadah politik sekarang, mampu diisi bagi kemajuan Aceh? Terserah rakyat Aceh, terutama pemerintahan yang kini berkuasa di Aceh. Sebab, perjuangan politik Aceh ada di tangan rakyat. Suara rakyat adalah suara perubahan.Kalau rakyat Aceh menghendaki perubahan, tiada siapapun bisa menghalanginya, begitu juga sebaliknya. Dan lunas-lunas perjuangan demokrasi untuk Aceh telah digariskan dalam perjanjian Helsinki,

Kita hanya bisa berharap mudah-mudahan rakyat Aceh bisa menentukan masa depan Aceh yang lebih bermartabat Karena tidak satu menginginkan nasib serta perjuangan rakyat Aceh selalu berada di pinggir jalan tanpa ada suatu perubahan. Seperti ungkapan syair Aceh “Aceh ibarat intan meusambong, seulingka hasee bumoe punoh deungon gas, tapi peuseubab hina tatanggong, luka Aceh lon sayang leupah that parah”.

Oleh : Effendi Hasan
*) Penulis adalah mahasiswa program doktor bidang falsafah politik dan ideologi, Universiti Kebangsaan Malaysia

PADUKA YANG MULIA WALI NANGGROE TEUNGKU MUHAMMAD HASAN DI TIRO BALIK KE SWEDIA



> Irwandi Sopiri Hasan Tiro ke Bandara
> Percepat Keadilan dan Kesejahteraan

Kuta Raja, Kepala Pemerintah Aceh Irwandi Yusuf dipercaya oleh tiga serangkai ..Dr Hasan Tiro, Malik Mahmud, dan dr Zaini Abdullah.. mengemudikan mobil yang membawa mereka dari Kota Banda Aceh ke Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM) di Blangbintang, Aceh Besar, Minggu (26/10) sore. Dari Bandara SIM, rombongan bertolak ke Kuala Lumpur, Malaysia, untuk seterusnya kembali ke Swedia. Hasan Tiro yang diantar ratusan pendukungnya terbang bersama rombongan sekitar pukul 17.00 WIB kemarin dari Bandara SIM naik Air Asia jenis Air Bus dengan nomor pesawat 9M-AFL.

Kembalinya Hasan Tiro ke Norsborg, Swedia, setelah melakukan serangkaian kegiatan di Aceh sejak 11 Oktober lalu. Seperti biasa, tokoh yang di kalangan GAM dijuluki “Wali” itu didampingi sejumlah mantan petinggi GAM, antara lain, Malik Mahmud, Zaini Abdullah, Syarif Usman, Muzakkir Abdul Hamid, Abu Razak, Muzakkir Manaf, Ibrahim KBS, dan sejumlah petinggi GAM/KPA lainnya.

Dalam rombongan juga terdapat Dr Ahmad Humam Hamid (mantan calon Kepala Pemerintah Aceh besutan GAM) serta Teuku Kamaruzzaman SH (Ampon Man), wakil GAM di BRR NAD-Nias.

Berdasarkan amatan Serambi, mobil jenis Land Rover yang membawa Hasan Tiro ke bandara ternyata disopiri Kepala Pemerintah Aceh Aceh, Irwandi Yusuf, yang diikuti oleh mobil pengawal Hasan Tiro. Namun, petugas bandara hanya mengizinkan para pengawal dan pengiring berada pada garis pembatas yang hanya sekira sepuluh meter dari tempat pesawat diparkir.

Sementara itu, ketika Hasan Tiro masih berada di ruang keberangkatan VIP, ia menerima sejumlah tamu. Di antaranya Pimpinan Muslim Aid Indonesia, Fadhlullah Wilmot.

Beberapa sumber menyebutkan, sehari setelah berada di Kuala Lumpur, pada 27 Oktober 2008, Hasan Tiro bersama petinggi GAM lainnya akan bertolak menuju ke Stockhlom, Swedia, negara tempat dia mengasingkan diri selama hampir 30 tahun terakhir. Rombongan akan mendarat di Bandara International Arlanda, Swedia, setelah menempuh perjalanan sekitar 12 jam.

Seperti diketahui, Hasan Tiro bersama petinggi GAM lainnya tiba di Aceh 11 Oktober 2008. Selama di Aceh pendiri GAM yang selama ini hidup berpindah dari Amerika Serikat, Libya, dan terakhir di Swedia itu pulang ke kampung halamannya untuk bersilaturahmi dengan masyarakat Aceh dan bertemu dengan keluarganya di Tiro.

Dalam dua hari terakhir, Hasan Tiro berada di Jakarta, untuk bertemu dengan Wapres Jusuf Kalla dan sejumlah tokoh serta komunitas Aceh di Jakarta. Dari Jakarta, Hasan Tiro dan rombongan kembali ke Banda Aceh, dan kemarin sore meninggalkan Aceh.

Percepat kesejahteraan

Sesaat sebelum meninggalkan tanah leluhurnya untuk kembali ke Stocklhom, Swedia, Hasan Tiro menukilkan pesan dan kesan dengan harapan agar perdamaian dapat dilanjutkan, sedangkan keadilan dan kesejahteraan, serta penegakan martabat rakyat segera dipercepat.

Demikian pernyataan tertulis Hasan Tiro yang diedarkan Komite Peralihan Aceh (KPA) ..sponsor kepulangan Hasan Tiro.. kepada wartawan, sesaat sebelum ia meninggalkan Aceh, melalui Bandara SIM Aceh Besar, sekitar pukul 16.30 WIB, Minggu (26/10).

“Ini telah menjadi kepulangan yang sangat bersejarah bagi saya pribadi, juga saya harapkan untuk seluruh rakyat Aceh. Dari lubuk hati saya yang dalam, saya mohon maaf kepada masyarakat dan wilayah-wilayah di Aceh yang belum sempat saya kunjungi, karena waktu jualah yang membatasi,” tulis Hasan Tiro.

Perdamaian Aceh, menurut Hasan Tiro, relatif berjalan secara benar dan baik, dan tentunya itu semua terjadi atas kerja keras dari semua pihak, Pemerintah Indonesia, Gerakan Aceh Merdeka, masyarakat sipil Aceh, dan teman-teman masyarakat internasional.

“Saya ingin menganjurkan kepada semua kita untuk mempertahankan dan bahkan memperkuat lagi kerja perdamaian kita ke depan, terutama dengan membangun komunikasi yang intensif dan melaksanakan amanat MoU Helsinki secara konsekuen.”

Ia melanjutkan, betapapun optimisnya hati dan perasaan kita, MoU Helsinki hanyalah sebuah gerbang awal dari sebuah perjalanan panjang perdamaian yang akan kita tempuh bersama. “Pekerjaan besar perdamaian baru saja kita mulai, dan bahkan ada yang belum kita mulai. Tidaklah salah kalau saya mengatakan bahwa seringkali mewujudkan perdamaian jauh lebih menantang dan sulit dari menandatangani persetujuan damai itu sendiri,” kata Hasan Tiro seraya menambahkan, namun pada saat yang sama, kita semua juga meyakini bahwa kekuatan dari sebuah keyakinan akan dapat mengalahkan berbagai tantangan, termasuk di dalamnya tantangan perdamaian.

Hasan Tiro juga mengingatkan, pekerjaan besar rakyat dan Pemerintah Aceh saat ini dan ke depan adalah bagaimana menempatkan keamanan manusia sebagai prioritas utama.

Ia pun berharap, gagasan pembangunan jangka pendek, menengah, dan panjang harus selalu dimulai dengan pertanyaan “apa dan berapa besar potensi sumbangannya terhadap proses perdamaian yang sedang berlanjut.”

Dalam konteks keamanan manusia, kata Hasan Tiro, pembangunan yang dilaksanakan di Aceh, idealnya berkorelasi dengan angka kriminal. Kekerasan yang rendah, penyakit menular yang terkontrol dengan baik, angka kematian bayi dan ibu melahirkan semakin rendah, pendidikan merata dan berkualitas, angka pengangguran dan kemiskinan yang terus mengecil, semakin berperannya wanita dalam berbagai aspek kehidupan, terpenuhinya prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan, dan terjaminnya berbagai kebebasan yang diakui dalam konvenan hak-hak asasi manusia.

“Hanya dengan cara inilah masyarakat Aceh sepcepatnya akan dapat hidup dalam suasana adil, sejahtera, dan bermartabat,” tukas doktor jebolan Columbia University, USA, itu. (yuh)

Menyambut Paduka Yang Mulia Wali Nanggroe Tengku Muhammad Hasan Di Tiro


Saptu 11 Oktober 2008

Ratusan Ribu massa di kawasan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh,saat menanti Petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Paduka Yang Mulia Wali Nanggroe Tengku Muhammad Hasan Di Tiro, terutama mereka yang datang dari berbagai wilayah untuk menyambut kedatangan Paduka yang mulia, Yang dijadwalkan tiba di Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda Aceh, Sabtu sekitar pukul 10.30 .

Pantauan Seurayung di Kuta Raja, Sabtu sebagian pertokoan dan pasar swalayan di ibukota Aceh (NAD) tutup, terutama yang berada di pusat kota,pertokoan tutup di sekitar kawasan Masjid Raya Baiturrahman, swalayan Pante Pirak dan pertokoan di sepanjang jalan T Umar serta di pusat kota yang dilalui massa, selain itu, labi-labi (angkutan kota) dan becak mesin hanya sebagian kecil yang beroperasi. Ribuan massa penyambut Paduka Yang Mulia Tengku Muhammad Hasan Di Tiro yang masih terus berdatangan dari berbagai wilaya di Aceh.

Massa yang sebelumnya menginap di tiga titik di Banda Aceh, yaitu kompleks PKA Taman Ratu Safiatuddin, Taman Budaya dan Kopelma Darussalam, sejak pukul 07.00 sudah bergerak menuju Masjid Raya Baiturrahman yang merupakan salah satu tempat yang akan dikunjungi Paduka Yang Mulia untuk bersilaturahmi dengan masyarakat Aceh. dan sebagian lagi menuju ke bandara Sultan Iskandar Muda untuk melihat saat pesawat yang ditumpangi Paduka Wali Nanggroe, Pendiri GAM mendarat, yang telah 30 tahun hidup di luar negeri dan menjadi warga negara Swedia itu pulang ke rumahnya untuk bersilaturahmi dengan masyarakat Aceh dan bertemu dengan keluarga.




Partai Aceh Mengusulkan Hasan Tiro Sebagai Wali Naggroe


Kuta Raja, Partai Aceh juga mengusulkan Hasan Tiro sebagai Wali Nanggroe yang pertama kali setelah terbentuknya lembaga Wali Nanggroe, hal ini disebabkan karena Hasan Tiro sebagai pemegang mandat dari kalangan Tuha Peut, bahkan Hasan Tiro mendapatkan gelar sebagai Al Mukaram atau Yang Mulia, Al Mudabir atau public figure dan Al Malik yang artinya Raja.
Demikian dikemukakan Tgk Adnan Beuransyah seraya menambahkan walaupun sekarang ini Hasan Tiro masih berstatus sebagai warga negara asing, tidak menjadi masalah sebab Hasan Tiro pasti akan berkenan berpindah kewarganegaraan menjadi warga negara Indonesia.


Menurut Tgk Adnan Beuransyah, Partai Aceh telah memberikan usulan dan masukan kepada Pansus XI DPR Aceh yang sedang membahas rancangan Qanun tentang lembaga Wali Nanggroe, dimana Partai Aceh mengusulkan agar posisi Wali Nanggroe diatas Kepala Pemerintahan atau Gubernur. Hal ini dengan pemikiran bahwa jika kondisi di Aceh dalam kacau balau atau darurat, maka Wali Nanggroe bisa membubarkan parlemen bahkan untuk mengatasi situasi dan kondisi keamanan di Aceh yang kacau tersebut, Wali Nanggroe bisa meminta bantuan kepada Jakarta untuk mengirimkan pasukannya ke Aceh, namun setelah kondisi aman maka pasukan tersebut harus ditarik kembali.

"Partai Aceh tidak perlu berkonsultasi dengan Gubernur NAD berkaitan dengan posisi Wali Nanggroe yang diusulkan diatas Gubernur, namun pada prinsipnya petinggi GAM seperti Malik Mahmud setuju dengan usulan Wali Nanggroe diatas Gubernur," ujar Juru Bicara Partai ini ini.

Menurut lelaki yang akrab dengan kalangan pers ini, berdasarkan point 1.1.7 MoU Helsinki disebutkan bahwa lembaga Wali Nanggroe akan dibentuk dengan segala perangkat upacara dan gelarnya, hal ini berarti harus ada pengawal khusus buat Wali Nanggroe, dimana Partai Aceh mengusulkan pengawal khusus tersebut adalah berasal dari eks GAM yang belum mendapatkan pekerjaan.

Sementara itu, Tgk Waled Tanoh Mirah mengatakan Pansus XI DPR Aceh yang sedang membahas rancangan qanun tentang lembaga Wali Nanggroe haruslah bisa mengakomodir tuntutan berbagai pihak tentang lembaga ini sehingga qanun yang tercipta nanti bisa lebih sempurna, t
ermasuk Pansus XI harus mengakomodir kepentingan GAM.

Disamping itu, ujarnya, agar rancangan qanun ini tidak sampai menimbulkan polemik di masyarakat, mengingat jabatan Wali Nanggroe yang sangat sensitif terutama berkaitan dengan masalah keamanan.

"MUNA sebagai underbow Partai Aceh setuju saja dengan usulan Partai Aceh bahwa kedudukan Wali Nanggroe haruslah diatas Gubernur, karena artinya Wali adalah diatas segala-galanya. Disamping itu, Wali Nanggroe bisa saja membubarkan parlemen. Jabatan untuk Wali Nanggroe juga harus 5 tahun," kata ulama asal Bireuen ini.

Menurut Waled Tanoh Mirah, kalaupun perempuan yang menjadi Wali Nanggroe sebenarnya tidak menjadi masalah, sebab perempuan juga memiliki jiwa kepemimpinan buktinya ada perempuan yang menjadi Perdana Menteri seperti Margareth Thatcher. Memang dalam ajaran Islam, sebaiknya perempuan tidak memimpin kaum laki-laki. Kita tidak mengerti apa hikmah dibalik hal ini, walaupun mungkin disebabkan karena perempuan lebih mengutamakan perasaannya.

"Sebaiknya Wali Nanggroe tidak hanya bergerak di bidang sosial budaya dan adat istiadat saja, melainkan bisa terlibat dalam masalah politik seperti menyelesaikan pertikaian antara lembaga eksekutif dengan legislatif dll," tegasnya.

Sedangkan, Tgk Faisal Ali menyatakan sampai saat ini HUDA belum mempelajari dan belum mempunyai agenda untuk membahas masukan HUDA berkaitan dengan pembuatan rancangan qanun tentang lembaga Wali Nanggroe, walaupun telah menimbulkan pro dan kontra antara lain karena posisi Wali Nanggroe yang berada diatas Gubernur.

"Pembentukan lembaga Wali Nanggroe memang merupakan amanah MoU Helsinki, namun kalau bisa tidak bertentangan dengan undang-undang yang bersifat nasional," tambah Sekretaris Jenderal HUDA ( Himpunan Ulama Dayah Aceh) seraya menambahkan keberadaan lembaga Wali Nanggroe tidak akan menggusur lembaga adat yang sudah ada di Aceh, bahkan lembaga Wali Nanggroe akan menjadi pemersatu bagi lembaga adat yang telah ada. (Tommy CK/Opie)

ANTARA ACEH DAN KOSOVO?


Pengistiharan kemerdekaan Kosovo pada 17 Februari beberapa bulan yang lalu masih menjadi kenangan bagi masyarakat Aceh khususnya. Kemerdekaan Kosovo sempat menjadi perbincangan hangat di keude-keude kupi seluruh Aceh. Diselah-selah perbincangan itu ada di antara mereka yang berangan-angan kapankah Aceh akan menjadi seperti Kosovo?,

ada juga yang masih ragu-ragu dengan apa yang sedang terjadi di Kosovo, yang menarik ada yang pesimis dengan apa yang berlaku di Kosovo akan terjadi di Aceh. Kelompok inilah telah merasa puas dengan keadaan yang ada sekarang, mereka tidak mau ambil pusing dengan keadaan yang terjadi di luar atau realita yang akan terjadi di Aceh. Bagi mereka yang terpikir hanya apa yang dapat mereka perolehi dan nikmati dengan keadaan Aceh sekarang ini. Keadaan yang sama ini mengingat penulis ketika era pengistiharan kemerdekaan Timur Leste pada 1999. Kemerdekaan Timur Leste juga melahirkan berbagai persepsi dikalangan masyarakat Aceh, sehingga datang inspirasi pemuda Aceh untuk menggerakkan idea perjuangan melalui “REFERENDUM ACEH”, walapun akhirnya perjuangan ini telah senyap seiring dengan mengalirnya kekuasaan dan uang bagi para mantan pelopor gerakan ini.

Akankah realita yang terjadi di Kosovo akan terus menjadi agan-agan bagi orang Aceh, kalau hal ini terjadi maka hampalah harapan untuk menentukan masa depan Aceh yang lebih baik. Tidakkah sepatutnya realita yang terjadi di Kosovo menjadi Spirit bagi pemuda, pemimpin, Ulama dan masyarakat Aceh untuk menentukan kearah mana hendak membawa Aceh kedepan, kearah kehancuran kesekian kali atau kearah kecermelangan ?. jawaban hanya ada pada orang Aceh. Mengapa kita tidak mengambil satu inti dari perjuangan masyarakat Kosovo menjadi landasan perjuangan bagi kita kedepan. Dengan itu kita tidak lagi berdiri pada landasan yang berbeda-beda dan mau menjadikan perbedaan pendapat menjadi rahmat bukan permusuhan. Dengan demikian kita akan membentuk satu shaf yang kokoh dengan satu matlumat yang sama disaat Negara luar telah mendukung perjuangan Aceh. Sehingga kita tidak mudah di adu domba dengan berbagai kepentingan dan hegomoni penguasa pusat yang hendak menjadikan Aceh terus dalam kongkongan kekuasaan mereka. Hal inilah yang harus kita intropeksi dan kita cari jawaban yang mendasar agar realita yang telah terjadi di Kosovo dapat kita ambil hikmah untuk membentuk masa depan Aceh yang lebih baik.

Kemerdekaan Kosovo yang telah di proklamirkan bukanlah sebuah ilusi atau Republik mimpi, tapi ia suatu kenyataan di mana pada abad ke 21 ini telah lahir lagi sebuah Negara baru di dunia. Walapun pengistiharan kemerdekaan Kosovo sempat melahirkan pro dan kontra terutama bagi Negara Rusia dan Serbia, akan tetapi dengan dukungan Amerika Serikat, Inggris dan Uni Eropa Perdana Menteri Kosovo Hashim Thaci, pada hari minggu tanggal 17 Februari 2008 telah mengumandangkan kemerdekaan Kosovo dari Serbia. Pengistiharan kemerdekaan tersebut tidak akan pernah dilupakan oleh masyarakat Kosovo dan tarikh itu akan dicatat dengan tinta emas oleh mereka. Kini Kosovo telah menjadi Negara merdeka, bebas, berdaulat, dan berdemokrasi ditanah air sendiri.

Sebenarya bila kita tinjau perjalanan konflik dan perjuangan masyarakat Kosovo agaknya tidak jauh berbeda dengan perjuangan masyarakat Aceh, sebelum diistiharkan menjadi Negara merdeka, Kosovo merupakan wilayah miskin yang mayoritas penduduknya berasal dari suku Albania yang beragama Islam. Wilayah yang sebagian besar kawasannya adalah daratan yang merupakan salah satu daerah di benua Eropa yang termiskin. Lebih dari setengah penduduknya hidup dalam kemiskinan. Meskinpun memiliki sumber kekayaan mineral, namun agrikultur (budi daya pertanian) menjadi kegiatan utama perekonomian penduduk. Sekitar 2 juta jiwa atau 90 persen dari penduduk Kosovo berasal dari suku Albania, 100.000 orang Serbia menetap di Kosovo sebagai eksodus pasca perang non Albanian. Minoritas Serbia ini hidup di kawasan terpisah, dengan pengawasan dari pasukan keamanan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Orang-orang Slavic dan Albania sudah tinggal di Kosovo sejak delapan abad yang lalu. Kosovo adalah pusat kerajaan Serbia hingga pertengahan abad ke 14, Serbia menganggap Kosovo sebagai tempat kelahiran negaranya. Kekalahan Serbia dipertempuran tahun 1389, menyebabkan selama berabad-abad Kosovo berada di bawah kekuasaan Muslim Ottoman (Usmaniyyah). Serbia mendapatkan kembali di Kosovo pada tahun 1913 dan propinsi tersebut tergabung sebagai bagian dari federasi Yugoslavia.

Serbia dan suku Albania berlomba untuk menguasai Kosovo sepanjang abad ke 20. Tekanan pada tahun 1960-an terhadap identitas nasional Albania di Kosovo membuka garis toleransi dari Beograd. Etnik Albania mulai memperoleh kedudukan dalam pemerintahan di Kosovo dan Yugoslavia. Pada tahun 1974 konstitusi Yugoslavia memposisikan status Kosovo sebagai propinsi dengan otonomi sendiri, upaya tersebut untuk meminimalisasi keinginan Kosovo untuk merdeka pada tahun 1980 atau setelah meninggalnya presiden Yugoslavia, Tito. Akan tetapi, kekecewaan atas pengaruh Kosovo terhadap Federasi Yugoslavia di manfaatkan oleh pemimpin selanjutnya, Slobodan Milosevic. Setelah menjadi presiden pada tahun 1989, ia meneruskan untuk melucuti kekuasaan otonomi Kosovo. Pelucutan tersebut telah melahirkan sebuah gerakan perlawanan suku Albania atau di kenal juga dengan istilah gerakan pembebasan Kosovo (Kosovo liberalization Army/KLA).

Gerakan ini berlangsung pada tahun 1990-an yang bertujuan untuk kemerdekaan atau minimal untuk mengembalikan otoritas otonomi bagi masyarakat Kosovo walaupun akhirnya mereka gagal mendapatkannya. Para gerilyawan Kosovo melakukan serangan dan tekanan bersenjata ke Serbia. Serangan tersebut telah memicu tindakan kejam militer Yugoslavia. Slobodan Milosevic menolak kesepakatan komisi Internasional untuk mengakhiri konflik. Penyiksaan yang dilakukan terhadap Albania di Kosovo, memicu serangan udara NATO melawan Serbia pada bulan Maret 1999. Ratusan dari ribuan pengungsi membanjiri Albania, Mecodonia dan Montenegro. Ratusan orang menjadi korban akibat konflik tersebut, Militer Serbia diusir paksa bertepatan dengan musim panas pada tahun 1999. sejak saat itu PBB mengambil alih pengawasan pemerintah atas propinsi tersebut. Status Kosovo sebelum merdeka pada bulan Februari 2008 adalah sebagai propinsi dari Serbia, sekaligus merupakan perpecahan dari Yugoslavia. Pengawasan pemerintah berlangsung di bawah naungan PBB. Jumlah penduduk di Kosovo sekitar 1,8 juta hingga 2,4 juta dengan ibu kota Pristina. Bahasa utama yang digunakan oleh penduduk adalah bahasa Albania dan Serbia. Mayoritas agama yang dianut oleh penduduk adalah agama Islam dan Kriten.

Sekilas pandang perjuangan masyarakat Kosovo sebelum merdeka memang mereka lalui dengan penuh liku-liku, pengorbanan dan air mata juga membasahi bumi Kosovo, akan tetapi keinginan untuk bertapak di negeri sendiri dan hidup lebih bermartabat telah menyatukan langkah dan keinginan mereka untuk mencapai satu tujuan atau dalam bahasa krennya Udep Saree Matee Syahid . Memang benar pepatah Aceh yang menyatakan “Panee Padee Meuyoe Hana Bijeh” ( padi tidak akan menghasikan panen tanpa ada benih), Meuyoe Ka Meupakat Lampoh Jeurat Tapeugala (kalau kita sudah bersatu semua akan mampu kita laksanakan). Sebenarnya pepatah Aceh itu telah memberi isyarat yang sangat mendalam bagi masyarakat Aceh agar selalu menjaga kebersamaan serta tidak mudah diadu domba oleh kepentingan orang lain. Sebenarya apa yang telah di capai oleh masyarakat Kosovo akan mampu dicapai oleh masyarakat Aceh, peluang itu akan terbuka lebar bagi masyarakat Aceh menjelang pembentukan self Government tahun 2009 dengan kemenangan partai lokal Aceh. Di sinilah perlu kearifan masyarakat Aceh untuk memilih partai lokal yang benar-benar lahir dari para pejuang yang telah terbukti komitmen dalam memperjuangkan Aceh, mereka telah mampu mewujudkan perdamaian di Helsinki untuk mencari pengakuan dan dukungan terhadap nilai-nilai perjuangan masyarakat Aceh dari Negara luar.

Masyarakat Aceh perlu berpandangan jauh kedepan, perjuangan politik serta penentuan nasib Aceh sangat ditentukan pada tahun 2009 dengan kemenangan partai politik lokal yang mempunyai komitmen perjuangan ke Aceh yang mengakar, bukan partai yang lahir karena kepentingan kekuasaan dan uang apalagi partai yang berbasis nasional. Berbagai halangan yang sedang dicoba oleh para elit politik di pusat maupun di Aceh dengan berbagai tuntutan pemekaran, pembusukan karakter perjuangan dan mantang pejuang, sehingga kepada pencekalan tidak lahirnya nama partai politik lokal dengan nama perjuangan. Semua halangan tersebut hendaknya makin mematangkan pikiran masyarakat Aceh untuk mengambil pilihan dan kesimpulan siapa sebenarnya yang tidak ikhlas terhadap masa depan Aceh. Kematangan tersebut akan melahirkan nilai suci dalam menentukan pilihan 2009 yang sekaligus akan menjadi penentu kemenangan partai lokal yang pro perjuangan Aceh. Pilihan itu sekaligus akan menjadi pilihan Referendum rakyat Aceh untuk memilih masa depan yang lebih bermartabat. Kemenangan partai politik lokal yang dipimpin oleh mantan pejuang Aceh pada pemilu lokal 2009 akan menjadi barometer bagi Negara luar melihat keinginan masyarakat Aceh. Sehingga cita-cita serta kenyataan yang telah terjadi di Kosovo akan menjadi realita di Aceh. Kita cuma bisa berharap semoga rakyat Aceh tidak salah dalam membuat pilihan masa depan yang lebih bermartabat, sehingga peristiwa Tsunami 2004 tidak terulang kembali menjadi peristiwa Tsunami politik di tahun 2009. Ungkapan ini mungkin sesuai untuk mengembalikan kesadaran kita sebagai sebuah bangsa yang pernah merasakan arti kemerdekaan dan kejayaan “ Hate Beu Teutap Beusunggoh-Sunggoh, Surak Beurioh Hai Peunerus Bangsa, Dum Geutanyoe Pahlawan Gagah, Tamanoe Beubasah Ta Bela Bangsa” Wallahu’alam.

Agar Cinta Bersemi Indah


Menerima pendamping kita apa adanya dengan tidak berharap terlalu banyak, merupakan bekal untuk mencapai kemesraan dalam rumah tangga dan kebahagiaan di akhirat.
Sebagai hamba yang dianugerahi fitrah, kita memang perlu menyeimbangkan harapan. Tak salah kita berdoa memohon suami yang sempurna, tetapi pada saat yang sama kita juga harus melapangkan dada untuk menerima kekurangan.
Kita boleh memancangkan harapan, tapi kita juga perlu bertanya apa yang sudah kita persiapkan agar layak mendampingi pasangan idaman.
Ini bukan berarti kita tidak boleh mempunyai keinginan untuk memperbaiki kehidupan kita, rumah tangga kita, serta pasangan kita. Akan tetapi, semakin besar harapan kita dalam pernikahan semakin sulit kita mencapai kebahagiaan dan kemesraan. Sebaliknya, semakin tinggi komitmen pernikahan kita (marital commitment) akan semakin lebar jalan yang terbentang untuk memperoleh kebahagian dan kepuasan.
Apa bedanya harapan dan komitmen? Apa pula pengaruhnya terhadap keutuhan rumah tangga kita? Harapan terhadap perkawinan menunjukkan apa yang ingin kita dapatkan dalam perkawinan. Bila kita memiliki harapan perkawinan yang sangat besar, sulit bagi kita untuk menerima pasangan apa adanya. Kita akan selalu melihat dia penuh kekurangan. Jika kita menikah karena terpesona oleh kecantikannya, kita akan segera kehilangan kemesraan sehingga tidak bisa berlemah lembut begitu istri kita sudah tidak memikat lagi. Betapa cepat dan berlalu dan betapa besar nestapa yang harus ditanggung.

Sementara itu, komitmen perkawinan lebih menunjukkan rumah tangga seperti apa yang ingin kita bangun. Kerelaan untuk menerima kekurangan, termasuk mengikhlaskan hati menerima kekurangannya membuat kita lebih mudah mensyukuri perkawinan.
Disebabkan oleh komitmen yang sangat kuat pada Allah dan Rasul-Nya istri Julaibib mengikhlaskan hati untuk menikah dengan Julaibib. Yang baru semalam usia pernikahan mereka Julaibib mengakhiri hayat di medan syahid. Ketika ibunya merasa tidak rela dikarenakan rendahnya rendahnya martabat dan buruknya perawakan fisik, ia meminta agar orang tuanya menerima pinangan itu kalau memang Rasulullah saw. yang menentukan.
Orang yang melapangkan hati untuk menenggang perbedaan, cenderung akan menemukan banyak kesamaan. Perbedaan itu bukan lantas tidak ada, tetapi kesediaan untuk menenggang perbedaan membuat kita mudah untuk melihat kesamaan dan kebaikannya. Sebaliknya, kita akan merasa tidak nyaman berhubungan dengan orang lain, tidak terkecuali pendamping hidup kita, bila kita sibuk mempersoalkan perbedaan. Apalagi jika kita sering menyebut-nyebutnya, semakin terasa perbedaan itu dan semakin tidak nyaman membina hubungan dengannya.
Semoga Allah melindungi kita dari mempersoalkan perbedaan tanpa mengilmui. Semoga Allah menjauhkan kita dari kesibukan yang membinasakan. Semoga Allah pula kelak mengukuhkan ikatan perasaan di antara kita dengan kasih sayang, ketulusan, dan kerelaan menenggang perbedaan. Sesungguhnya telah berlalu umat-umat sebelum kita yang mereka binasa karena sibuk mempersoalkan perbedaan dan memperdebatkan hal-hal yang menjadi rahasia Allah.
Nah, jika mempersoalkan perbedaan, menyebut-nyebutnya, dan mengeluhkannya akan membuat hubungan renggang, mengapa tidak melapangkan hati untuk menenggangnya? Sesungguhnya menenggang perbedaan akan menumbuhkan kasih sayang dan kemesraan yang hangat. Ada perasaan mengharukan yang sekaligus membahagiakan jika kita memberikan untuknya apa yang ia sukai.
Untuk itu, ada tiga hal yang perlu kita pahami agar ia mempercayai ketulusan kita. Pertama, berikanlah perhatian yang hangat kepadanya. Besarnya perhatian membuat dia merasa kita sayang dan kita cintai. Kedua terimalah ia tanpa syarat. Penerimaan tanpa syarat menunjukkan bahwa kita mencintainya dengan tulus. Tidak mungkin menerima dia apa adanya jika kita tidak memiliki ketulusan cinta dan kebersihan niat. Ketiga, ungkapkanlah dengan kata-kata yang tepat.
Berkaitan dengan ungkapan ini, ada sebuah tips yang ahsan yang disampaikan oleh ustaz yang kini masih mengajar di jurusan Psikologi, UII, Yogyakarta ini. Yakni terminologi "aku" dan kamu". Saat kita mendapatkan bahwa masakan yang dibuat pasangan kita keasinan misalnya, maka gunakanlah kata ganti "aku" . "Aku lebih suka kalau sayurnya lebih manis, sayang" Tapi saat kita mendapatkan suatu kelebihan pada diri pasangan, ia sukses menggoreng telor dadar misalnya (biasanya ia menggoreng berkerak), maka kita gunakan kata ganti "kamu". "Kamu memang pintar, istriku". Kita gunakan kata "aku" untuk sesuatu yang sifatnya negatif dan "kamu" untuk sesuatu yang sifatnya positif. Untuk semua hal.
Tampaknya memang benar, karena penggunaan kata ganti "kamu" untuk sebuah kesalahan yang telah dilakukan oleh pasangan kita cenderung menyaran pada arti memvonis alih-alih memosisikan pasangan kita sebagai tertuduh.
Dalam perspektif pragmatik (linguistik), terminologi ini merupakan sebuah upaya penggunaan maksim kesopanan dengan tetap mempertahankan maksim kerja sama. Dengan tujuan agar tidak terjadi konflik pada keduanya.
Berangkat dari petunjuk Allah ini tidak layak bagi kita untuk sibuk mempersoalkan kekurangan ataupun kesalahan, apalagi kekurangan yang sulit dihilangkan, sepanjang ia tidak melakukan kekejian yang nyata. Betapa pun banyak yang tidak kita sukai darinya, kemesraan dengannya tak akan pudar jika kita mencoba untuk berbaik sangka kepada Allah, barangkali di balik itu Allah berikan kebaikan yang sangat besar. Sebaliknya, sesedikit apa pun keburukannya, bila kita sibuk menyebut-nyebut dan mengingatnya, akan sangat memberatkan jiwa. Dampak selanjutnya tidak hanya bagi hubungan suami istri, tetapi merembet pada hubungan kita dan si kecil.
Terimalah ia apa adanya. Terimalah kekurangannya dengan keikhlasan hati maka akan kita temukan cinta yang bersemi indah. Sesudahnya berupaya memperbaiki dan bukan menuntut untuk sempurna. Bukankah kita sendiri mempunyai kekurangan, mengapa kita sibuk menuntut istri untuk sempurna? Ada amanat yang harus kita emban ketika kita menikah. Ada ruang untuk saling berbagi. Ada ruang untuk saling memperbaiki. Dan bukan saling mengeluhkan, alih-alih menyebut-nyebut kekurangan.
Pahamilah kekhilafannya agar ia merasa ringan dalam memperbaiki, meski bukan berarti kita lantas membiarkan kesalahan. Berikanlah dukungan dan kehangatan kepadanya sehingga ia berbesar hati menghadapi tantangan-tantangan yang ada di depan. Tunjukkanlah bahwa kita memang sangat menghargainya, menerimanya dengan tulus, mau mengerti dan bersemangat mendampinginya.
Dalam buku ini Ustaz Fauzil memang tidak hanya membahas seputar keikhlasan menerima pasangan kita apa adanya. Namun tampaknya beliau memandang masalah yang remeh temeh ini dalam beberapa hal telah menjadi batu karang yang cukup terjal yang kemudian melahirkan benih-benih konflik dan alih-alih perceraian.
Seperti pada bagian akhir, beliau menjelaskan bagaimana upaya belajar itu tidak sebatas menerima apa adanya, tetapi juga diikuti dengan belajar mendengar dengan sepenuh hati. Karena tidak jarang kita bukan tidak paham jawaban yang sesungguhnya diinginkan di balik pertanyaan pasangan.
Cukup banyak hal sepele yang tampaknya kita anggap telah kita berikan tetapi ternyata hal itu jauh meleset dari dugaan. Kita bukan mendengar pasangan tetapi mendengar diri sendiri, kita bukan memberi solusi tapi malah menambah materi. Kita bukan memberi jalan keluar alih-alih menghakimi. Kita bukan memberikan jawaban, tetapi malah memberikan pertanyaan. Kita bukan meringankan tetapi malah memberatkan. Benarkah?
Al akhir, kekayaan itu ada di jiwa. Dan keping kekayaan itu dimulai dari ketulusan menerima. Dengan kekayaan jiwa kita akan lebih mudah memberikan empati, lebih mudah untuk memahami, lebih mudah untuk berbagi dan lebih mudah mendengar dengan sepenuh hati.
Hari ini, ketika kita bermimpi tentang sebuah pernikahan yang romantis sementara ikatan batin di antara kita dan pasangan begitu rapuh, sudahkah kita berterima kasih kepadanya? Sudahkah kita meminta maaf atas kesalahan kesalahan kita? Jika belum, mulailah dengan meminta maaf atas kesalahan-kesalahan kita dan ungkapkan sebuah panggilan sayang untuknya. Mulailah dari yang paling mudah, hatta yang paling remeh atau kecil sekalipun. Mulailah dari yang paling kecil, demikian Ustaz Aa' berpesan. Little things mean a lot, demikian Ustaz Fauzil menambahkan. Agar cinta bersemi dalam keluarga kita, agar cinta senantiasa berbunga dalam kehidupan kita.
Masya Allah.
Subhanallah.
Alhamdulillahirabbil alamiin.
Wallahu alam bisshawab.
(bagi yang belum menikah tidak usah khawatir, jika engkau jaga risalah Allah adalah sebuah keniscayaan jika Allah kan berikan yang terbaik buat antum, sekali lagi terbaik dalam perspektif Allah, dan bukan perpektif kita)

oleh : M. Fauzil Adhim


Rakyat Aceh Harus Ingat Sejarah


Pesan Hasan Tiro dari Selangor, Malaysia:
Rakyat Aceh Harus Ingat Sejarah
* Komit Jaga Perdamain


Harian Serambi Indonesia tanggal 6 Oktober 2008


SELANGOR – Deklarator Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Dr Tgk Hasan Muhammad Ditiro, nyaris meneteskan air mata saat menyampaikan pesan-pesan khusus kepada rakyat Aceh, saat menerima Serambi dan dua wartawan asal Aceh, di Selangor Darul Ehsan, Malaysia, Minggu (5/10). Wartawan Serambi Indonesia, Zainal Arifin M Nur, dari Selangor, Malaysia, tadi malam melaporkan, dengan suara terbata-bata, Tgk Hasan M Ditiro yang di kalangan GAM lebih sering disapa Wali, meminta kepada seluruh rakyat Aceh untuk senantiasa ingat tentang sejarah perjuangan sehingga tercapainya perjanjian damai (MoU), Helsinki yang didukung oleh bangsa-bangsa Uni Eropa dan dunia.


Suaranya sempat terhenti beberapa saat setelah mengucapkan Assalamulaikum. “Rakyat Aceh mesti tahu sejarah, sebab tanpa perjuangan tersebut, tidak akan mungkin bagi kita bisa membina hubungan dengan negara-negara lain, seperti yang terjadi sekarang ini, I told to you in Acehness,” ujar Tgk Hasan Tiro dalam bahasa Aceh bercampur Inggris sambil tertawa, setelah sebelumnya menanyakan apakah kami bertiga datang langsung dari Aceh.

Dengan mata berkaca-kaca dan nyaris terisak, Wali melanjutkan pernyataannya, “So... He had done anything that happened. People in Papua.... lebih banyak yang mereka usaha sekarang bahwa berjuang itu penting sekali. Saya dengar orang Aceh banyak sekali di Jakarta sekarang memperjuangkan kepentingan Aceh. Dan, semua orang... semuanya mau seperti...”

Tgk Hasan Tiro yang berbicara dalam bahasa Inggris bercampur Melayu kembali terhenti. “Semuanya ingin seperti yang terjadi di Aceh,” timpal seorang yang hadir dalam pertemuan tersebut. “Ya....” ujar Tgk Hasan Tiro menyambung pernyataan tersebut. “Thank you, thank you,” kata Wali sambil menutup pembicaraan.

Mengumbar senyum

Dalam pertemuan yang berlangsung selama 25 menit, mulai pukul 17.11 sampai 17.36 waktu Malaysia (16.11-16.36 WIB), Wali kerap mengumbar senyum. Sesekali ia juga terlihat sesekali bercanda dan tertawa lebar dengan orang-orang yang hadir dalam pertemuan yang berlangsung dalam suasana cukup familiar tersebut.

Pada pertemuan berlangsung di salah satu hotel dalam wilayah Selangor DE Malaysia itu, Wali didampingi oleh mantan Menteri Luar Negeri GAM dr Zaini Abdullah, pembantu khusus Muzakkir Abdul Hamid, Syarif Usman, Juru Bicara KPA Pusat Ibrahim bin Syamsuddin (KBS), serta tujuh mantan kombatan GAM eks Libya yang bertindak sebagai pengawal.

Tgk Hasan Ditiro terlihat masih cukup bugar di usianya yang sudah menginjak kepala delapan (83 tahun). Wali yang tampil rapi dengan balutan jas hitam dipadu dasi warna maron keluar dari ruangan kamarnya tanpa harus dituntun atau dipapah oleh orang lain.

Sementara itu, Dr Zaini Abdullah yang mendampingi Wali mengulas panjang lebar tentang perjuangan panjang GAM yang sudah berusia sekitar 30 tahun sejak 4 Desember 1976 hingga tercapainya perjanjian damai Helsinki 15 Agustus 2005, yang difasilitasi CMI, serta didukung oleh negara-negara Uni Eropa, Asean, serta negara-negara lainnya.

“Bencana tsunami yang membuat sekitar 250 rakyat Aceh menjadi syuhada, seakan menjadi sebuah tanda agar kita kembali merajut perdamaian yang sudah diprakarsai oleh GAM dengan Pemerintah Indonesia sejak beberapa tahun sebelumnya,” kata Zaini Abdullah.

Dikatakannya, dengan adanya perdamaian ini rakyat Aceh sudah merajut kembali kehidupan baru dalam suasana damai untuk mencapai kesejahteraan. “Perdamaian ini mesti kita jaga, seperti ibarat bunga yang sentiasa harus kita siram, oleh kedua pihak. Yang paling utama adalah orang Aceh harus memelihara perdamaian ini, tapi jangan sampai kita melewati batas sehingga menjadi takabur,” katanya.

Zaini Abdullah juga mengingatkan agar seluruh rakyat Aceh, terutama para mantan kombatan GAM, agar selalu mengutamakan kepentingan rakyat banyak dalam kehidupan sehari-hari. “Jangan sampai mengutamakan kepentingan pribadi, apalagi sampai terlibat dalam kasus-kasus kriminalitas sehingga bisa mengganggu perdamaian. Jadi kita semua harus bisa menjaga diri dan memelihara perdamaian agar abadi, sehingga cita-cita kita akan tercapai,” katanya dan terlihat Tgk Hasan Tiro mengangguk-anggukkan kepala sebagai tanda mengiyakannya.

Nyaris putus asa

Pertemuan Serambi bersama dua wartawan dari Aceh lainnya masing-masing Murizal Hamzah dari The Globle Journal dan Yuswardi A Suud dari Acehkini, adalah buah perjuangan keras selama dua hari setelah kami tiba di Malaysia pada, Sabtu (4/10) sore. “Harapan kami untuk berjumpa langsung dengan Tgk Hasan Ditiro nyaris pupus ketika kami memperoleh kabar bahwa Wali tidak diagendakan untuk melakukan pertemuan terbuka dengan masyarakat Aceh di Malaysia,” lapor wartawan Serambi, Zainal Arifin M Nur.

Bahkan, pada Sabtu malam kami sampai berputar-putar selama beberapa jam untuk mencari tempat penginapan Wali bersama rombongannya dari Swedia. Harapan untuk bertemu orang yang paling dicari oleh rombongan Pansus Wali Nanggroe DPRA dua lalu kembali terbuka ketika kami berhasil menemukan hotel tempat rombongan tersebut menginap.

Namun kegembiraan kami hanya berlangsung sesaat. Setelah menunggu hingga pukul 01.00 Minggu dini hari, kami tetap tidak berhasil melihat Wali. Karena informasi yang simpang siur, kami akhirnya memutuskan untuk istirahat karena kecapaian guna menyimpan stamina untuk keesokan harinya. Kondisi yang sama juga kembali terjadi ketika kami menunggu kedatangan Wali di restoran hotel pada pagi harinya. Di sini, kami hanya berjumpa dengan dr Zaini Abdullah dan Meuntroe Amir Mahmud (abang kandung Malik Mahmud), serta Syarif Usman, dan beberapa petinggi GAM lainnya.

Belakangan informasi yang kami peroleh, ternyata Wali tidak menginap di hotel tersebut. Kami pun nyaris putus asa untuk mendeteksi keberadaan Wali. Juru Bicara KPA Pusat, Ibrahim bin Syamsuddin (KBS) dan pembantu khusus Wali, Muzakkir A Hamid, serta beberapa petinggi GAM lainnya seakan menyimpan rapat agenda wali. “Beliau tidak ada agenda khusus selama di Malaysia, cuma mau bertemu dan bersilaturrahmi dengan rekan-rekan yang sudah puluhan tahun tidak berjumpa,” ujar Muzakkir.

Namun, kami tidak putus asa, hingga tiba-tiba satu kabar yang ditunggu-tunggu datang dari Ibrahim KBS. “Nanti jam lima anda bertiga sudah diagendakan bertemu dengan Paduka Yang Mulia,” ujar KBS tanpa memberikan alamat pertemuan.

“Kerja keras kami akhirnya membuahkan hasil ketika kami dijemput masuk ke sebuah hotel di kawasan Selangor, hingga pertemuan mengesankan tersebut pun berlangsung,” sebut Wartawan Serambi, Zainal Arifin M Nur, mengakhiri laporannya.

Hasan Tiro Pulang


Hasan Tiro Pulang

*Dijadwalkan Tiba 11 Oktober 2008 - Eks Militer GAM akan Menjadi Perisai Utama
Harian Serambi Indonesia, Kamis 25/09/2008

BANDA ACEH - Di tengah berbagai spekulasi tentang kondisi kesehatan Hasan Tiro, tiba-tiba pada Rabu (24/9), Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA), Muzakkir Manaf mengeluarkan pernyataan pers bahwa Wali Nanggroe Tgk Hasan Muhammad Di Tiro akan pulang ke Aceh dan dijadwalkan tiba pada 11 Oktober 2008. “Wali pulang untuk berziarah dan bersilaturahmi dengan rakyat Aceh. Karena beliau sudah lebih 32 tahun tidak melihat Aceh dan kita sedang mempersiapkan kepulangannya,” kata Muzakkir Manaf kepada sejumlah wartawan di Banda Aceh, Rabu, (24/9). Dala konferensi pers itu, Muzakkir didampingi Juru Bicara KPA Pusat Ibrahim bin Syamsuddin, Wakil Ketua KPA Kamaruddin Abubakar, Juru Bicara Partai Aceh Adnan Beuransah, dan beberapa staf KPA dan Partai Aceh.



Menurut Muzakkir Manaf, setelah lebih tiga dasawarsa meninggalkan tanah kelahirannya untuk berjuang bagi kemerdekaan Aceh dengan membentuk pemerintahan di pengasingan, Tgk Hasan Muhammad Di Tiro atau yang lebih dikenal dengan sebutan Wali akan kembali ke tanah leluhurnya. Tokoh pendiri Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ini dijadualkan tiba di Aceh pada 11 Oktober 2008. Kepulangannya atas inisiatifnya sendiri, bukan karena permintaan serta undangan dari pihak manapun, termasuk bukan untuk agenda politik apapun.

Muzakkir juga mengatakan, kehadiran Wali di Aceh memang telah diagendakan sejak beberapa bulan terakhir. Menurut dia, Wali akan berada di Aceh selama dua pekan atau bahkan bisa jadi satu bulan.
Pihaknya juga sudah mempersiapkan tim pengawal untuk mengamankan perjalanan Wali selama di Aceh. Untuk itu mereka juga bekerjasama dengan pihak kepolisian. “Kita telah meminta pengawalan dari polisi. Selain itu untuk pengamanan Wali kita juga mengerahkan anggota KPA dan Partai Aceh,” kata Muzakkir.
Juru Bicara KPA Pusat, Ibrahim bin Syamsuddin menegaskan, kepulangan Wali tidak didasari pada undangan dari pihak manapun. “Ini adalah inisiatif dan atas kehendak beliau sendiri,” tegas Ibrahim bin Syamsuddin yang akrab disapa KBS ini.

Menurut KBS, sejumlah pihak juga akan mendampingi Tgk Hasan Tiro pulang ke Aceh. Di antaranya, delegasi Uni Eropa disertai unsur Pemerintah Indonesia. “Beliau akan terbang dari Arlanda Airport International, Stockholm, Swedia menuju Aceh dengan terlebih dahulu transit di salah satu negara di Asia Tenggara,” kata Ibrahim bin Syamsuddin.

Ibrahim juga menyatakan, masyarakat juga nantinya akan diperkenankan berjumpa secara langsung dengan orang nomor satu di tubuh GAM tersebut. “Kenapa tidak, kan beliau milik masyarakat Aceh. Meski begitu, kita lihat jadualnya dulu,” kata KBS sambil menambahkan perihal jadual pertemuan dengan masyarakat akan disesuaikan pula dengan kondisi Tgk Hasan Tiro ketika berada di Aceh. “Kalau massa sebanyak waktu referendum dulu, kan tidak mungkin,” tandasnya.

Sumber Serambi di Swedia, Asnawi Ali melalui fasilitas Yahoo Messenger tadi malam menjelaskan, ia telah mengkonfirmasi soal kepulangan Tgk Hasan Tiro kepada bekas Menteri Luar Negeri GAM, dr Zaini Abdullah. “Wali neuwoe neujak kalon ureung Achèh. Rindu that Wali keu rakyat saweub katrep hana neuwoe,” tulis Asnawi mengutip jawaban dr Zaini. Ketika Asnawi menanyakan apakah Wali akan tinggal selamanya di Aceh, dr Zaini hanya menjawab singkat, “terlalu cepat bagi saya untuk menjawab hal itu.”

Zaini juga mengatakan, pihak GAM sudah berkoordinasi dengan militer Indonesia terhadap proses pengamanan Tgk Hasan Tiro. Namun, ia menegaskan bahwa eks militer GAM akan menjadi perisai utama dengan menempatkan anggota-anggotanya di ring pertama. Zaini juga menegaskan bahwa kepulangan Wali tidak ada kaitan dengan undangan Tim Pansus DPRA beberapa waktu lalu.

Zaini juga membenarkan adanya delegasi Pemerintah Republik Indonesia di dalam rombongan Wali yang akan pulang ke Aceh. “Semua orang Aceh di luar negeri juga akan ikut dalam rombongan,” katanya.
Menjawab adanya agenda pertemuan dengan tokoh politik, pemerintah, atau pihak lainnya. dr Zaini hanya mengatakan bahwa hal itu tergantung dari keadaan dan situasi di Aceh nantinya.(yuh)