WALI DAN PERJUANGAN RAKYAT ACEH

Misi Damai
Kepulangan wali nanggroe (Tgk Hasan di Tiro) 11 Oktober 2008 lalu, punya kesan khas bagi ureueng Aceh. Karena dapat melihat wajah langsung sekaligus mendengar amanah dari tokoh yang 30 tahun melagenda itu. Maka tidak heran kehadirannya disambut haru-biru rakyat sebagaimana disaksikan di Masjid Baiturrahman, Banda Aceh. Peristiwa tersebut bagaikan pengulangan sejarah ketika rakyat berbondong-bondong datang ke Banda Aceh untuk mendukung perjuangan referendum tahun 1999. Saya mempersonifikasi kepulangan wali ke Aceh yang disambut ribuan rakyat, seperti sejarah Ayatullah Imam Khomeini di Iran, tahun 1979 yang pulang ke negerinya

Sebenarnya wali nanggroe Tgk Hasan di Tiro sejak bermukim di luar negeri pernah beberapa kali pulang ke Aceh, dan terakhir tahun 1976. Dalam catatan hariannya yang berjudul The Prince of Freedom: The Unfinished Diary of Teungku Hasan Tiro(1981), tersebut ia ke Aceh pada 30 Oktober 1976 dari rute Seattle Amerika Serikat, Tokyo, Hongkong, dan Thailand, dan melalui jalur laut, ia masuk Aceh.

Wali ketika itu mendarat di Desa nelayan Pasie Lhok, Pidie yang disambut oleh sejumlah pasukan bersenjata lengkap dipimpinan M.Daud Husin (Daud Paneuk). Beliau pulang ke Aceh itu untuk memimpin perjuangan rakyat melawan pemerintah Indonesia. Hingga pada 4 Disember 1976, wali Tgk Hasan Tiro memproklamirkan perjuangan Aceh Merdeka (GAM) di bukit Cokan pedalaman Kecamatan Tiro.

Wali memimpin perjuangan Aceh setelah kegagalan Darul Islam Aceh pimpinan Teungku Daud Beuereueh, ulama kharismatik yang juga guru Tgk. M. Hasan di Tiro. GAM sendiri adalah nama lain dari Acheh Sumatra National Liberation Front (ASNLF). Perjuangan itu, menurut Hasan Tiro, sebagai lanjutan perjuangan rakyat Aceh mempertahankan kemerdekaan dari penjajahan Belanda sejak tahun 1873. Perjuangan rakyat yang sudah berlangsung 125 tahun, dan Aceh tidak pernah menyerah kepada Belanda.

Jika Aceh sekarang ini berada di bawah Indonesia, menurut Wali Nanggroe, adalah kesalahan Belanda yang telah menyerahkan kedaulatan Aceh kepada Indonesia tahun 1949. Jadi Aceh merupakan sebuah wilayah yang lepas dari Indonesia dan memiliki identitas serta pemerintahaan sendiri (Lukman Thaib 1997:46). Alasan-alasan tersebut yang kemudian menimbukan konflik politik yang berkepanjangan (32 tahun) antara Aceh dengan Jakarta, hingga berakhir dengan ditandatangani MoU damai di Helsinki, 15 Agustus 2005. Konflik Aceh-Jakarta, telah mengorbankan harta dan ribuan nyawa rakyat Aceh. Dan itu adalah cacatan sejarah pahit rakyat.

Menurut Moch Nurhasim (2008: 67), sebelum GAM diproklamirkan pada tahun1976, Tgk Hasan sendiri sudah terlibat perjuangan DI/TII, khusunya di Amerika Serikat. Hal itu dapat disimak dari catatan-catatan Tgk Hasan, bagaimana pemikiran dan gagasan beliau tentang Indonesia.

Lewat GAM, beliau menginginkan Aceh seperti konsep masa lalu NegaraAceh pada zaman Iskandar Muda, yang makmur dan Berjaya. Itu tercermin dalam beberapa tulisannya saat masih menjadi mahasiswa fakultas hukum pada Columbia Universiti dan sebagai Staf Perwakilan Indonesia di New York. Pada September 1954. Nama Tgk. M Hasan di Tiro kemudian populer sejak beliau memproklamirkan dirinya sebagai “Duta Besar Republik Islam Indonesia” di Amerika Serikat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan sebuah surat terbuka yang dkirim kepada Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Efek dari surat tersebut, paspor diplomatik beliau sempat dibekukan atas perintah Perdana Menteri, sehingga Tgk M Hasan di Tiro sempat ditahan oleh pihak Imigrasi dan terkantung-kantung di Amerika untuk beberapa bulan.


 Misi damai

Kepulangan Tgk Hasan di Tiro kali ini ( 11 Oktobber 2008), pastilah bukan seperti kepulangannya pada tahun 1976 lalu yang akan memimpin pasukan dan mendekralasi perjuangan Aceh. Kali ini Wali Nangroe, pulang ke tanah indatu semata untuk misi perdamaian, dan melanggeng damai yang diawali MoU Helsinky.

Artinya, spirit perjuangan rakyat Aceh saat ini adalah berjuang mengubah nasib agar damai bisa langgeng, dan rakyat beroleh kemakmuran. Itu sebenarnya yang menjadi inti pesan Wali dalam setiap pertemuan maupun ceramah politik di Aceh. Seperti ungkapan beliau “ Di dalam perang kita telah banyak pengorbanan, akan tetapi dalam kedamaian kita harus bersedia berkorban lebih banyak lagi. Memang, biaya perang sangat mahal akan tetapi biaya memelihara perdamaian jauh lebih mahal. Peliharalah perdamaian ini untuk kesejahteraan kita semua”.

Perundingan perdamaian yang panjang seru dan alot antara pihak GAM dan pihak Pemerintah Indonesia di Helsinki, Finlandia, katanya, telah menghasilkan kesepakatan yang dinamakan Memorandum of Understanding ( MoU) yang ditandatangani oleh pihak GAM dan RI pada 15 Agustus 2005. Itu merupakan dasar pijakan hukum bagi terciptanya kebebasan dan perdamaian yang menyeluruh, berkelanjutan serta bermartabat bagi semua pihak.

Pernyataan tersebut, tentu bermakna jauh bagi membina perdamaian serta perjuangan Aceh ke depan. Rakyat Aceh harus membangun perdamaian dan perjuangan politik dalam lunas-lunas demokrasi, dan menciptakan self goverment di Aceh. Ini harus dapat dibaca kemana arah perjuangan Aceh selanjutnya.

Perjuangan bersenjata telah beliau tinggalkan. Kini rakyat Aceh berjuang secara politik untuk menentukan masa depannya yang lebih bermartabat. Hal itu juga ditegaskan Wali Nannggroe dalam pidatonya di Hotel Concorde Syah Alam Selangor. Ia mengajak rakyat Aceh agar tidak lupa sejarah. Dalam konteks ini adalah berkaitan dengan sejarah perjuangan politik rakyat Aceh serta sejarah kejayaan Aceh ketika masih berdiri teguh sebagai satu wilayah yang bermartabat.

Wali nanggroe telah kembali ke luar negeri (Swedia) setelah 14 hari berada di tanah kelahirannya. Namun, apakah rakyat Aceh dapat menangkap pesan-pesan yang telah pernah beliau sampaikan? Apakah perjuangan politik akan memihak rakyat Aceh, dengan kemenangan wadah politik sekarang, mampu diisi bagi kemajuan Aceh? Terserah rakyat Aceh, terutama pemerintahan yang kini berkuasa di Aceh. Sebab, perjuangan politik Aceh ada di tangan rakyat. Suara rakyat adalah suara perubahan.Kalau rakyat Aceh menghendaki perubahan, tiada siapapun bisa menghalanginya, begitu juga sebaliknya. Dan lunas-lunas perjuangan demokrasi untuk Aceh telah digariskan dalam perjanjian Helsinki,

Kita hanya bisa berharap mudah-mudahan rakyat Aceh bisa menentukan masa depan Aceh yang lebih bermartabat Karena tidak satu menginginkan nasib serta perjuangan rakyat Aceh selalu berada di pinggir jalan tanpa ada suatu perubahan. Seperti ungkapan syair Aceh “Aceh ibarat intan meusambong, seulingka hasee bumoe punoh deungon gas, tapi peuseubab hina tatanggong, luka Aceh lon sayang leupah that parah”.

Oleh : Effendi Hasan
*) Penulis adalah mahasiswa program doktor bidang falsafah politik dan ideologi, Universiti Kebangsaan Malaysia