ANTARA ACEH DAN KOSOVO?
Pengistiharan kemerdekaan Kosovo pada 17 Februari beberapa bulan yang lalu masih menjadi kenangan bagi masyarakat Aceh khususnya. Kemerdekaan Kosovo sempat menjadi perbincangan hangat di keude-keude kupi seluruh Aceh. Diselah-selah perbincangan itu ada di antara mereka yang berangan-angan kapankah Aceh akan menjadi seperti Kosovo?,
ada juga yang masih ragu-ragu dengan apa yang sedang terjadi di Kosovo, yang menarik ada yang pesimis dengan apa yang berlaku di Kosovo akan terjadi di Aceh. Kelompok inilah telah merasa puas dengan keadaan yang ada sekarang, mereka tidak mau ambil pusing dengan keadaan yang terjadi di luar atau realita yang akan terjadi di Aceh. Bagi mereka yang terpikir hanya apa yang dapat mereka perolehi dan nikmati dengan keadaan Aceh sekarang ini. Keadaan yang sama ini mengingat penulis ketika era pengistiharan kemerdekaan Timur Leste pada 1999. Kemerdekaan Timur Leste juga melahirkan berbagai persepsi dikalangan masyarakat Aceh, sehingga datang inspirasi pemuda Aceh untuk menggerakkan idea perjuangan melalui “REFERENDUM ACEH”, walapun akhirnya perjuangan ini telah senyap seiring dengan mengalirnya kekuasaan dan uang bagi para mantan pelopor gerakan ini.
Akankah realita yang terjadi di Kosovo akan terus menjadi agan-agan bagi orang Aceh, kalau hal ini terjadi maka hampalah harapan untuk menentukan masa depan Aceh yang lebih baik. Tidakkah sepatutnya realita yang terjadi di Kosovo menjadi Spirit bagi pemuda, pemimpin, Ulama dan masyarakat Aceh untuk menentukan kearah mana hendak membawa Aceh kedepan, kearah kehancuran kesekian kali atau kearah kecermelangan ?. jawaban hanya ada pada orang Aceh. Mengapa kita tidak mengambil satu inti dari perjuangan masyarakat Kosovo menjadi landasan perjuangan bagi kita kedepan. Dengan itu kita tidak lagi berdiri pada landasan yang berbeda-beda dan mau menjadikan perbedaan pendapat menjadi rahmat bukan permusuhan. Dengan demikian kita akan membentuk satu shaf yang kokoh dengan satu matlumat yang sama disaat Negara luar telah mendukung perjuangan Aceh. Sehingga kita tidak mudah di adu domba dengan berbagai kepentingan dan hegomoni penguasa pusat yang hendak menjadikan Aceh terus dalam kongkongan kekuasaan mereka. Hal inilah yang harus kita intropeksi dan kita cari jawaban yang mendasar agar realita yang telah terjadi di Kosovo dapat kita ambil hikmah untuk membentuk masa depan Aceh yang lebih baik.
Kemerdekaan Kosovo yang telah di proklamirkan bukanlah sebuah ilusi atau Republik mimpi, tapi ia suatu kenyataan di mana pada abad ke 21 ini telah lahir lagi sebuah Negara baru di dunia. Walapun pengistiharan kemerdekaan Kosovo sempat melahirkan pro dan kontra terutama bagi Negara Rusia dan Serbia, akan tetapi dengan dukungan Amerika Serikat, Inggris dan Uni Eropa Perdana Menteri Kosovo Hashim Thaci, pada hari minggu tanggal 17 Februari 2008 telah mengumandangkan kemerdekaan Kosovo dari Serbia. Pengistiharan kemerdekaan tersebut tidak akan pernah dilupakan oleh masyarakat Kosovo dan tarikh itu akan dicatat dengan tinta emas oleh mereka. Kini Kosovo telah menjadi Negara merdeka, bebas, berdaulat, dan berdemokrasi ditanah air sendiri.
Sebenarya bila kita tinjau perjalanan konflik dan perjuangan masyarakat Kosovo agaknya tidak jauh berbeda dengan perjuangan masyarakat Aceh, sebelum diistiharkan menjadi Negara merdeka, Kosovo merupakan wilayah miskin yang mayoritas penduduknya berasal dari suku Albania yang beragama Islam. Wilayah yang sebagian besar kawasannya adalah daratan yang merupakan salah satu daerah di benua Eropa yang termiskin. Lebih dari setengah penduduknya hidup dalam kemiskinan. Meskinpun memiliki sumber kekayaan mineral, namun agrikultur (budi daya pertanian) menjadi kegiatan utama perekonomian penduduk. Sekitar 2 juta jiwa atau 90 persen dari penduduk Kosovo berasal dari suku Albania, 100.000 orang Serbia menetap di Kosovo sebagai eksodus pasca perang non Albanian. Minoritas Serbia ini hidup di kawasan terpisah, dengan pengawasan dari pasukan keamanan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Orang-orang Slavic dan Albania sudah tinggal di Kosovo sejak delapan abad yang lalu. Kosovo adalah pusat kerajaan Serbia hingga pertengahan abad ke 14, Serbia menganggap Kosovo sebagai tempat kelahiran negaranya. Kekalahan Serbia dipertempuran tahun 1389, menyebabkan selama berabad-abad Kosovo berada di bawah kekuasaan Muslim Ottoman (Usmaniyyah). Serbia mendapatkan kembali di Kosovo pada tahun 1913 dan propinsi tersebut tergabung sebagai bagian dari federasi Yugoslavia.
Serbia dan suku Albania berlomba untuk menguasai Kosovo sepanjang abad ke 20. Tekanan pada tahun 1960-an terhadap identitas nasional Albania di Kosovo membuka garis toleransi dari Beograd. Etnik Albania mulai memperoleh kedudukan dalam pemerintahan di Kosovo dan Yugoslavia. Pada tahun 1974 konstitusi Yugoslavia memposisikan status Kosovo sebagai propinsi dengan otonomi sendiri, upaya tersebut untuk meminimalisasi keinginan Kosovo untuk merdeka pada tahun 1980 atau setelah meninggalnya presiden Yugoslavia, Tito. Akan tetapi, kekecewaan atas pengaruh Kosovo terhadap Federasi Yugoslavia di manfaatkan oleh pemimpin selanjutnya, Slobodan Milosevic. Setelah menjadi presiden pada tahun 1989, ia meneruskan untuk melucuti kekuasaan otonomi Kosovo. Pelucutan tersebut telah melahirkan sebuah gerakan perlawanan suku Albania atau di kenal juga dengan istilah gerakan pembebasan Kosovo (Kosovo liberalization Army/KLA).
Gerakan ini berlangsung pada tahun 1990-an yang bertujuan untuk kemerdekaan atau minimal untuk mengembalikan otoritas otonomi bagi masyarakat Kosovo walaupun akhirnya mereka gagal mendapatkannya. Para gerilyawan Kosovo melakukan serangan dan tekanan bersenjata ke Serbia. Serangan tersebut telah memicu tindakan kejam militer Yugoslavia. Slobodan Milosevic menolak kesepakatan komisi Internasional untuk mengakhiri konflik. Penyiksaan yang dilakukan terhadap Albania di Kosovo, memicu serangan udara NATO melawan Serbia pada bulan Maret 1999. Ratusan dari ribuan pengungsi membanjiri Albania, Mecodonia dan Montenegro. Ratusan orang menjadi korban akibat konflik tersebut, Militer Serbia diusir paksa bertepatan dengan musim panas pada tahun 1999. sejak saat itu PBB mengambil alih pengawasan pemerintah atas propinsi tersebut. Status Kosovo sebelum merdeka pada bulan Februari 2008 adalah sebagai propinsi dari Serbia, sekaligus merupakan perpecahan dari Yugoslavia. Pengawasan pemerintah berlangsung di bawah naungan PBB. Jumlah penduduk di Kosovo sekitar 1,8 juta hingga 2,4 juta dengan ibu kota Pristina. Bahasa utama yang digunakan oleh penduduk adalah bahasa Albania dan Serbia. Mayoritas agama yang dianut oleh penduduk adalah agama Islam dan Kriten.
Sekilas pandang perjuangan masyarakat Kosovo sebelum merdeka memang mereka lalui dengan penuh liku-liku, pengorbanan dan air mata juga membasahi bumi Kosovo, akan tetapi keinginan untuk bertapak di negeri sendiri dan hidup lebih bermartabat telah menyatukan langkah dan keinginan mereka untuk mencapai satu tujuan atau dalam bahasa krennya Udep Saree Matee Syahid . Memang benar pepatah Aceh yang menyatakan “Panee Padee Meuyoe Hana Bijeh” ( padi tidak akan menghasikan panen tanpa ada benih), Meuyoe Ka Meupakat Lampoh Jeurat Tapeugala (kalau kita sudah bersatu semua akan mampu kita laksanakan). Sebenarnya pepatah Aceh itu telah memberi isyarat yang sangat mendalam bagi masyarakat Aceh agar selalu menjaga kebersamaan serta tidak mudah diadu domba oleh kepentingan orang lain. Sebenarya apa yang telah di capai oleh masyarakat Kosovo akan mampu dicapai oleh masyarakat Aceh, peluang itu akan terbuka lebar bagi masyarakat Aceh menjelang pembentukan self Government tahun 2009 dengan kemenangan partai lokal Aceh. Di sinilah perlu kearifan masyarakat Aceh untuk memilih partai lokal yang benar-benar lahir dari para pejuang yang telah terbukti komitmen dalam memperjuangkan Aceh, mereka telah mampu mewujudkan perdamaian di Helsinki untuk mencari pengakuan dan dukungan terhadap nilai-nilai perjuangan masyarakat Aceh dari Negara luar.
Masyarakat Aceh perlu berpandangan jauh kedepan, perjuangan politik serta penentuan nasib Aceh sangat ditentukan pada tahun 2009 dengan kemenangan partai politik lokal yang mempunyai komitmen perjuangan ke Aceh yang mengakar, bukan partai yang lahir karena kepentingan kekuasaan dan uang apalagi partai yang berbasis nasional. Berbagai halangan yang sedang dicoba oleh para elit politik di pusat maupun di Aceh dengan berbagai tuntutan pemekaran, pembusukan karakter perjuangan dan mantang pejuang, sehingga kepada pencekalan tidak lahirnya nama partai politik lokal dengan nama perjuangan. Semua halangan tersebut hendaknya makin mematangkan pikiran masyarakat Aceh untuk mengambil pilihan dan kesimpulan siapa sebenarnya yang tidak ikhlas terhadap masa depan Aceh. Kematangan tersebut akan melahirkan nilai suci dalam menentukan pilihan 2009 yang sekaligus akan menjadi penentu kemenangan partai lokal yang pro perjuangan Aceh. Pilihan itu sekaligus akan menjadi pilihan Referendum rakyat Aceh untuk memilih masa depan yang lebih bermartabat. Kemenangan partai politik lokal yang dipimpin oleh mantan pejuang Aceh pada pemilu lokal 2009 akan menjadi barometer bagi Negara luar melihat keinginan masyarakat Aceh. Sehingga cita-cita serta kenyataan yang telah terjadi di Kosovo akan menjadi realita di Aceh. Kita cuma bisa berharap semoga rakyat Aceh tidak salah dalam membuat pilihan masa depan yang lebih bermartabat, sehingga peristiwa Tsunami 2004 tidak terulang kembali menjadi peristiwa Tsunami politik di tahun 2009. Ungkapan ini mungkin sesuai untuk mengembalikan kesadaran kita sebagai sebuah bangsa yang pernah merasakan arti kemerdekaan dan kejayaan “ Hate Beu Teutap Beusunggoh-Sunggoh, Surak Beurioh Hai Peunerus Bangsa, Dum Geutanyoe Pahlawan Gagah, Tamanoe Beubasah Ta Bela Bangsa” Wallahu’alam.