Tarik ulur RPP Migas Aceh

Rancangan Peraturan Pemerintah Migas Aceh sudah melewati puluhan kali pembahasan. Permintaan pembagian hasil 70 persen untuk Aceh ditolak Jakarta. Akankah selesai Oktober tahun ini?

WAJAH Bupati Simeulue Riswan N.S. malam itu cerah. Selasa, 13 Agustus 2013, Riswan mengabarkan informasi penting kepada wartawan yang meriung di pendopo bupati. “Informasi yang kita dapatkan dari BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) Pusat, hasil survei dan penelitian potensi migas di Simeulue telah A1,” ujarnya. Lokasi potensi minyak dan gas bumi yang dimaksud Riswan, berada di kawasan perairan Pulau Lasia, Kecamatan Teupah Selatan.

BPPT menyebutkan, sumber Migas ini berada di kedalaman 1.100 meter dari permukaan air laut. Jumlahnya diperkirakan mencapai 107 hingga 320 miliar barel, lebih besar daripada cadangan di cekungan Arab Saudi 264,21 miliar barel. Nilai bombastis di cekungan Simeulue ini sebenarnya telah menjadi target eksplorasi potensi hidrokarbon sejak 1968 hingga 1978. Ketika itu yang menyurvei adalah Union Oil.
Selain itu juga ada survei kemitraan Indonesia dan Jerman yang melibatkan BPPT, Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dan Pusat Pengembangan dan Penelitian Geologi Laut, pada 21 Januari hingga 25 Februari 2006 di perairan barat Aceh. Penelitian dilakukan sampai ke wilayah landas kontinen di luar 200 mil.

Namun potensi cadangan minyak cekungan busur muka di Simeulue masih menyimpan keraguan. Sebelumnya, saat datang ke Simeulue pada Selasa, 14 Mei 2013, Deputi Badan Informasi Geospasial (Bakosurtanal) Yusuf Surrahman mengatakan, untuk memastikan potensi cadangan minyak bumi dan gas di Simeulue, perlu penelitian lanjutan yang butuh waktu hingga 10 tahun ke depan. BPPT juga belum menyebutkan berapa jarak lokasi migas itu dari pantai Simeulue.
Entah mengapa, malam itu tiba-tiba Riswan menyebut potensi minyak di sana sudah “A1” alias akurat.

JIKA potensi minyak dan gas di Simeulue itu ada, Aceh dapat mengelolanya bersama Pusat. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh atau UUPA menyebutkan, Pemerintah Aceh diberi wewenang mengelola sumber daya alam khususnya migas.

Kewenangan itu diformulasikan dalam Pasal 160 Ayat 1 dan 2. Aturan itu menyebutkan, wewenang diberikan dengan membentuk satu badan pelaksana yang ditetapkan bersama dengan Pemerintah Pusat untuk mengelola migas di Aceh.

Namun, hingga kini belum ada peraturan pemerintah yang mengatur soal itu. Draf Rancangan Peraturan Pemerintah tentang migas pun sedang digodok bersama oleh Aceh dan Jakarta. Awalnya, yang masih menjadi tarik ulur tentang tuntutan Pemerintah Aceh untuk ikut mengelola migas di perairan laut lebih dari 12 mil. Sementara Pusat bersikukuh jarak 12 hingga 200 mil masuk dalam teritorial Zona Ekonomi Eksklusif yang menjadi kewenangan pemerintah secara nasional.

KEINGINAN Aceh tetap ingin mempertahankan batas 12 hingga 200 mil karena besarnya sumber potensi migas pada teritorial itu. Selain Simeulue, sepanjang pantai timur utara bahkan selatan Aceh terdapat beberapa sumber migas.

Di Bireuen, perusahaan eksplorasi migas Zaratex NV pernah menyurvei kandungan minyak bumi di lepas pantai kabupaten itu. Bahkan, pada Selasa, 2 Oktober 2012, Mardi Gaharu, perwakilan Zaratex NV, mengatakan mereka akan mengebor lapisan kerak bumi pada kedalaman 3.600 meter. Lokasi migas di Bireuen berjarak 20,5 mil dari garis pantai.

Zaratex telah menyurvei potensi migas di Bireuen sejak pertengahan 2009. Pengeboran dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya sumber migas. Saat itu, Bupati Bireuen Ruslan semringah jika sumber migas itu ada, bakal sangat bermakna bagi Aceh. “Terutama bagi Kabupaten Bireuen dengan adanya pembagian hasil produksi," ujar Ruslan.
Sebelumnya, Zaratex telah mengebor dua sumur di lepas pantai (offshore) kawasan Seunuddon dan Lapang, Aceh Utara. Namun di sana tak ditemukan cadangan hidrokarbon. Karena itulah, Zaratex kemudian pindah ke Bireuen.

Company Representative Zaratex NV di Lhokseumawe, Eri Wahab, saat itu kepada The Atjeh Times membenarkan dua sumur di Seunuddon dan Lapang tidak membuahkan hasil. Dua sumur yang berjarak sekitar 3 mil dan 4 mil dari garis pantai itu, kata dia, dibor setelah selesai proses seismik 2009 lalu.

“Aktivitas di lepas pantai itu untuk sementara sudah selesai. Hasil rigdrilling (pengeboran untuk melihat ada atau tidak cadangan migas) tidak ekonomis, tak mungkin dieksploitasi,” ujarnya.
Saat dihubungi kembali Jumat pekan lalu, Eri mengatakan potensi migas di Bireuen nihil. “Di Bireuen juga tidak ekonomis,” ujarnya. Untuk sementara, kata dia, Zaratex tidak ada kegiatan eksplorasi di Aceh. “Sudah hampir setahun kita stand by, karena lagi fokus di Jambi, di sana sudah produksi.”

Kemungkinan, kata Eri, mereka akan melanjutkan lagi kegiatan di Aceh pada akhir 2014 atau awal 2015. “Belum ada jadwal yang pasti karena perlu studi lagi untuk dianalisa hasil survei kita.
Rencananya Zaratex akan mengebor dua sumur lagi di lepas pantai. Namun Eri tak tahu persis lokasinya. “Itu sifatnya teknis. Kalau dua sumur lagi juga hasilnya tidak ekonomis, maka kita akan cut.”

DI sisi lain, sumber migas yang sudah menipis salah satu faktor Pemerintah Aceh tetap harus dapat mengegolkan kewenangan mengelola bersama dalam RPP Migas. Wakil Ketua Komisi  A Dewan Perwakilan Rakyat Aceh Nurzahri mengatakan, Migas Aceh akan habis pada 2018. Ia mengacu pada PT Arun. Bila Aceh tak mendapat bagian dari pengelolaan minyak di lepas pantai, kata dia, tidak akan ada lagi anggaran untuk kesejahteraan rakyat.

Sementara, RPP Migas sendiri sudah melalui pembahasan panjang, hingga 80 kali pertemuan. Hasil pertemuan-pertemuan itu juga kosong tanpa solusi ketika dinaikkan ke rapat kabinet.
Alasan lain Aceh ngotot pada pengelolaan di atas 12 mil, kata dia, karena selama ini semua hasilnya diambil Pusat. Aceh, kata Nurzahri, selama ini hanya menikmati dana bagi hasil migas. Tahun ini jumlahnya Rp600 miliar. Lalu ada juga dana otonomi khusus, tapi pada 2028 sudah tidak ada lagi. Saat dana-dana itu habis, anggaran Aceh akan menipis.

Konteks yang ingin dihasilkan dalam RPP Migas, menurut Nurzahri, tentang pembagian hasil 70 persen untuk Aceh dan sisanya untuk pusat. “Kita tetap inginkan seperti di MoU Helsinki dan UUPA. Pemerintah Pusat tidak mau seperti itu. Jadi ini yang agak berat sebenarnya. Permintaannya, 70 persen mereka, 30 persen kita. Kemudian tawaran terakhir adalah 50 persen mereka dan 50 persen kita.”
Akhirnya, Pemerintah Aceh pun tetap bertahan pada 70 persen. “Kalau dipahami oleh Pemerintah Pusat, hasil 70 persen nantinya bukan kami nikmati personal, tapi seluruh rakyat Aceh akan menikmati,” kata Nurzahri, Kamis pekan lalu.

Sejauh ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sudah memahami keinginan Pemerintah Aceh mengelola hasil migas di atas 12 mil. Namun, kata Nurzahri, Kementerian Keuangan tidak mau.
“Harusnya, ketika (migas) itu ada di Aceh, ya, biarkan orang Aceh menikmati. Jangan sampai orang Aceh itu jadi penonton di kampung halamannya sendiri. Minyak diambil, tetapi yang nikmati Jakarta.”
Nurzahri pesimis hingga tenggat 31 Oktober 2013 Rancangan Peraturan Pemerintah dapat diselesaikan. Saat pertemuan terakhir antara tim Aceh dan Pusat di Hotel Borobudur, Jakarta, ia melihat tidak ada kekompakan di kementerian-kementerian terkait  untuk menyelesaikan RPP turunan UUPA dan MoU Helsinki.

“Kami mengapresiasi Kemendagri, khususnya Pak Djoehermasyah (Dirjen Otonomi Daerah) masih memiliki komitmen kuat untuk menyelesaikan ini. Tetapi sayangnya kementerian yang lain tidak memiliki komitmen yang sama dengan beliau,” ujar Nurzahri. Jika pun dipaksakan harus kelar akhir Oktober, Nurzahri takut Peraturan Pemerintah soal migas tak sesuai harapan.

Sementara Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan mengakui, pembahasan soal batas laut sempat mengalami kebuntuan. Kini persoalan itu telah menemui titik terang.
Namun, kata Djohermansyah, pemerintah belum menetapkan seberapa jauh batas pengelolaan migas di laut Aceh. “Migas nanti dikelola bersama melalui satu badan bersama, ada Aceh, ada Pemerintah Pusat. Tetap menjadi pembagian,” ujar Djohermansyah seperti dikutip Kompas, Jumat, 16 Agustus 2013.

Hal senada disampaikan Kepala Biro Pemerintah Aceh Edrian. Aceh meminta hingga jarak 200 mil, kata Edrian, karena Nota Kesepahaman MoU Helsinki menuliskan tentang pengelolaan bersama. “Maka diasumsikan Aceh juga dapat melakukannya. Karena Aceh subsistem dari NKRI, dengan sendirinya dianggap itu juga menjadi kewenangan Aceh,” ujar Edrian. Filosofi pengelolaan bersama, kata dia, mulai dari proses pelaksanaan, lifting migas sampai dengan cost recovery-nya.

Kini, kata Edrian, baik Aceh maupun Pusat memang ingin segera menyelesaikan RPP Pengelolaan Migas. Bahkan, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi sudah mengirim surat ke Aceh soal enam nama sebagai tim pembahas RPP Migas dan aturan turunan lainnya. Hingga 31 Oktober, kata Edrian, yang menjadi prioritas diselesaikan, selain RPP Migas, juga RPP kewenangan dan peraturan presiden tentang pertanahan.

Enam nama yang diminta Mendagri sudah disusun. Tim Aceh akan diketuai Sekretaris Daerah T. Setia Budi. Lalu di dalamnya ada Asisten Satu Pemerintah Aceh Iskandar A. Gani, Kepala Biro Hukum Edrian, Wakil Ketua Komisi A. Nurzahri, akademisi Universitas Syiah Kuala M. Adli Abdullah dan Fakhrulsyah Mega.
Tim inti ini juga akan didukung oleh tim lainnya dari lintas sektoral yang memiliki kepentingan terhadap RPP dan Perpres. “RPP Migas ini akan kita evaluasi mendalam dan mendetail, untuk melihat apa yang sudah disepakati dulu.”

JUMAT pekan lalu, kabar baru terdengar dari Simeulue. Komite Percepatan Pembangunan Simeulue atau KPPS, bakal menggandeng perusahaan asal China untuk mempercepat realisasi eksplorasi migas di cekungan Simeulue. “Bahkan perusahaan China itu telah menyiapkan dananya sendiri untuk eksplorasi, mudah-mudahan tidak ada kendala," ujar Ketua KPPS Hamdani Aziz kepada The Atjeh Times. KPPS dibentuk oleh Pemerintah Simeulue untuk melakukan lobi-lobi di tingkat Pusat.

Jumlah dana disiapkan perusahaan China senilai US Dolar 6.5 miliar. Dana digunakan untuk penelitian dan eksplorasi. Namun, baik KPPS maupun perusahaan China masih menunggu aturan pemerintah soal eksplorasi migas. Kedua lembaga ini merujuk pada Qanun Nomor 2 Tahun 2008 tentang dana bagi hasil migas dan pembagian dana otsus, bukan RPP Migas.

Itu sebabnya, RPP Migas harus segera dirampungkan sebelum cekungan Simeulue mengalirkan gemerincing dolar. Jika tidak, bukan mustahil sejarah kembali terulang: munculnya rasa ketidakadilan. Bukankah pembagian hasil era PT Arun telah memberi pelajaran berharga untuk Aceh dan Pemerintah Pusat?[]
Lokasi Potensi Migas Aceh
-Blok Singkil > pernah disurvei Nations Petroleum.
-Blok Pase (Aceh Utara dan Aceh Timur) > diteken Memorandum of Agreement dengan Triangle Energy Global.
-Blok Andaman > Talisman Asia Ltd
-North Sumatra Offshore > Perbatasan Aceh Tamiang-Sumatera Utara, letaknya di atas 12 mil.
- Aceh Timur : PT Medco E&P Malaka (Blok A), PT Pacific Oil & Gas di Kecamatan Ranto Peureulak, dan PT Triangle Pase Inc di Kecamatan Pante Bidari.
- Perusahaan eksploitasi migas asal Amerika, Transworld Seruway Eksploiration pada November 2011-Januari 2012, menyurvei lepas pantai Aceh Timur.
# Sisa sumur tua nonproduksi milik ExxonMobil dan PT Pertamina: 719
# 147 sumur Migas Aceh masih aktif dikelola Pertamina, ExxonMobil, dan Triangle Pase Inc.
Produksi Migas Aceh
Minyak Bumi
@ 2006 > 3.966.450 barel
@ 2012 > 2.137.930 barel
Gas
@ 2006 > 106.289.660 MmBTU
@ 2012 > 25.888.269 MmBTU.
- See more at: http://atjehpost.com/read/2013/08/26/63889/0/2/Tarik-ulur-RPP-Migas-Aceh-#sthash.uWoS5UWc.dpuf

No comments:

Post a Comment

Terimakasih atas komentar nya