Kata MK Soal Lambang Tak Boleh Ancam Kedaulatan

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini menilai keberadaan bendera Aceh yang dilandasi qanun Nomor 3 Tahun 2013 ten­tang Bendera dan Lambang Aceh tidak mengandung ma­salah. Menurut dia, keberadaan qanun itu secara prosedural tidak bertentangan dengan UUD 1945.

“Jika ada bendera di Aceh, itu tidak masalah. Karena di Un­dang-undang (UU) Aceh juga ada kewenangan itu. Secara pro­sedural itu tidak ada ma­salah,” ujar dia.
Akil mengatakan, seharusnya pemerintah tidak perlu khawatir dengan keberadaan bendera yang mirip dengan lambang Ge­rakan Aceh Merdeka (GAM). Sebab, antara pemerintah pusat dengan GAM telah terikat per­janjian Helsinki yang me­nye­pakati Aceh merupakan bagian dari Indonesia dan akan taat pada hukum yang berlaku.

“Dengan perjanjian Helsinki kan sudah selesai. Mengenai substansinya, itu harus dikon­sul­tasikan antara pemerintah pu­sat dan pemerintah daerah, se­hingga tidak mengancam ke­daulatan,” katanya.

Lebih lanjut, Akil menam­bah­kan, jika masyarakat Aceh ada yang keberatan dengan qa­nun itu, maka dapat mengaju­kan uji materi ke Mahkamah Agung (MA). “Kalau ada war­ga Aceh yang tidak setuju, dia bisa mengajukan gugatan ke MA,” ujar dia

Akil menjelaskan, satuan dae­rah yang bersifat khusus diakui da­lam Undang-Undang Dasar 1945. Daerah tersebut bisa mem­buat peraturan yang mengacu pada UUD. Atas dasar ini, Un­dang-Undang Daerah Aceh mem­beri kewenangan ke­pada pe­merintah daerahnya un­tuk mem­buat lambang daerah. “Ti­dak hanya Aceh. Di Undang-Un­­dang otonomi khusus peme­rin­tahan Papua juga ada,” kata dia.

Akil mengakui, saat ini ada perdebatan mengenai konsep bendera Aceh yang menyerupai bendera Gerakan Aceh Merde­ka (GAM). Namun menurut Akil, hal ini tidak perlu dirisau­kan oleh semua pihak karena ti­dak akan mengancam kedaula­tan. Dalam UUD 1945, kata Akil, telah ditetapkan bahwa ben­­dera negara Indonesia ialah Sang Merah Putih.

Kendati tidak memper­ma­sa­lah­kan, namun Akil menya­ran­kan, penentuan Qanun dibicara­kan kembali antara pemerintah pusat dan daerah. “Silahkan Pemerintah Daerah Aceh dan pemerintah pusat musyawarah­kan,” tutup dia. [Harian Rakyat Merdeka]

No comments:

Post a Comment

Terimakasih atas komentar nya