JAKARTA : Bendera Aceh yang disahkan oleh DPRA adalah Bendera Separatis

Rasa saling tidak percaya sepertinya tak akan pernah berakhir hingga akhir masa. Begitu juga dengan polemik soal bendera.
Lambang dan Bendera Aceh

LEBIH kurang empat bulan sudah polemik bendera dan lambang Aceh berjalan, akan tetapi hingga kini belum juga mendapat hasil seperti yang diinginkan oleh rakyat Aceh. Berbagai penafsiran hukum terus diperdebatkan. Konflik regulasi antar Pemerintah Pusat dan Aceh terus saja berlanjut.

Katakan saja persoalan Wakil Ketua III DPRA yang belum ada kejelasannya sampai hari ini, begitu juga dengan konflik regulasi tentang Pemilu. Belum lagi bicara tentang RPP (Rancangan Peraturan Pemerintah) kewenangan yang entah di mana dan bagaimana nasibnya kini.

Melihat Aceh dan Jakarta ibarat melihat cermin retak yang telah disatukan kembali dengan lem perekat cap setan. Sebaik apapun bentuknya, guratan keretakan itu tetap saja tergores di wajah siapa saja yang berada di hadapannya. Rasa saling tidak percaya sepertinya tak akan pernah berakhir hingga akhir masa. Begitu juga dengan polemik soal bendera.

Tega-teganya Jakarta berkata, bendera yang disahkan oleh DPRA adalah bendera separatis. Lupakah Jakarta kalau Aceh telah  kembali dalam pelukan ibu pertiwi sejak tanggal 15 Agustus 2005 silam? Ketika kerelaan itu sudah terikrar maka segala hal yang tidak diinginkan oleh Jakarta telah ditinggalkan termasuk membubarkan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) yang menurut  Jakarta adalah gerakan separatis itu.

Walaupun dulunya para pendahulu, tokoh-tokoh Aceh pernah berkata “mengikuti Pancasila akan porak-poranda”, tetapi demi kemanusian meskipun porak-poranda Aceh tetap merelakan dirinya berada kembali di bawah naungan Pancasila. Ternyata: Jakarta, Merah putih, Garuda, tetap saja masih sinis menerima Aceh dalam pelukannya. Pandangan sinis yang terasa sangat sakit dan menyedihkan.

Mungkin sakit ini hasil dari kekonyolan Aceh sendiri, dalam hal ini Pemerintah Aceh dan DPRA. Pemerintah Aceh dan DPRA sudah terlalu baik dengan Jakarta. Seyogyanya Pemerintah Aceh dan DPRA tidak perlu menerima tawaran Pemerintah Pusat untuk melakukan dialog tentang bendera. Bukankah Pemerintah Aceh dan DPRA sudah sepakat kalau bendera Aceh itu adalah bendera Bintang Buleun dan lambangnya adalah buraq singa? Lantas untuk apa juga perlunya dialog?

Bukankah dialog itu dilakukan untuk mencari solusi atau jalan tengah? Ketika berangkat dari Banda Aceh sudah sepakat dan bersikukuh untuk tidak mundur selangkahpun maka dialog tidak diperlukan karena sebuah dialog akan berimplikasi pada hal-hal yang tidak selalu positif. Jikapun nanti bendera tidak berubah bentuknya, minimal anggaran pemerintah untuk perjalanan para perunding telah terkuras.

Jika DPRA dan Pemerintah Aceh bersikukuh dengan bendera dan lambang yang sudah disahkan melalui Qanun No 3 Tahun 2013 maka dialog dalam bentuk basa basi dengan Pemerintah Pusat tidak perlu lagi dilakukan. Tinggal tunggu saja kapan Pemerintah Pusat akan membatalkan qanun tersebut dengan PP setelah itu baru DPRA dan Pemerintah Aceh melakukan gugatan. Sehingga tidak terkesan Pemerintah Aceh dan DPRA hanya menjadikan persoalan bendera dan lambang Aceh sebagai legitimasi anggota dewan agar dapat jalan-jalan ke luar Aceh dan mempromosikan diri kepada rakyat untuk dipilih kembali pada pemilu 2014 nanti.
Dengan disahkannya Qanun No 3 Tahun 2013, maka bendera sudah sah untuk dikibarkan dan lambang Aceh sudah dapat diaplikasikan, qanun bendera dan lambang dibuat berdasarkan mekanisame yang berlaku dan sesuai dengan aturan hukum yang ada.

Di samping itu, di dalam UUPA pasal 7 ayat (1) dan (2) jelas sekali disebutkan kalau Pemerintah Aceh berwenang mengatur dan mengurus pemerintah dalam sektor publik kecuali enam hal yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Keenam hal tersebut sepertinya tidak termasuk hal bendera dan lambang Aceh.

Persoalan bendera dan lambang Aceh hanya pada adanya masukan dari Mendagri. Namanya masukan tentu bisa diterima bisa juga tidak karena Qanun Bendera berbeda dengan empat qanun yang harus melalui tahapan evaluasi dan klarifikasi Mendagri, seperti: Qanun RTRW, APBA, Pajak dan Restribusi.

Jika qanun-qanun lainnya seperti Qanun Pariwisata tidak perlu menunggu persetujuan Mendagri, kenapa juga Qanun Bendera harus melalui proses panjang dan rumit. Patut dipertanyakan, kenapa eksekutif dan legislatif membiarkan begitu saja Jakarta mengintervensi Aceh sedemikan rupa, hingga masih ada qanun dan aturan yang tertulis di dalam UUPA, selain yang enam hal tersebut pada Pasal 7 ayat (1) dan (2) tetap masih ada campur tangan Jakarta.

Legislatif dan eksekutif seharusnya bisa bersikap tegas terhadap implementasi UUPA dan kewenangan Aceh. Jika hari ini pemerintah Aceh dan DPRA lemah, maka jangan pernah bermimpi Aceh akan kuat. Begitu juga dengan Qanun Bendera, kalau Aceh bisa tegas Mendagri juga tidak bisa ngotot.

Tidak perlu mengeluarkan statement akan mengarahakan polisi untuk menertibkan masyarakat yang mengibarkan bendera Bintang Buleun. Kalau mau ngotot ya batalkan saja melalui PP kenapa harus memakai alat negara seperti polisi untuk berselisih dengan rakyat Aceh?

Begitu juga dengan Pemerintah Aceh  dan DPRA, jika Pemerintah Aceh dan DPRA memang benar-benar ingin bendera Aceh berkibar semestinya merekalah yang harus berada di garis terdepan untuk menyelamatkan Qanun No 3 Tahun 2013 dengan cara mengaplikasikan qanun yang sudah disahkan dan mengibarkan bendera di kantor-kantor Pemerintah, seperti kantor gubernur dan di gedung dewan. Bukan di jalan-jalan kampung dan jalan Medan-Banda Aceh karena ruh Bintang Buleun adalah ruh syuhada. Tak patut dia berkibar di jalanan berdebu tanpa legalitas yang berarti dari pihak pemangku kekuasaan.

Sudah saatnya Pemerintah Aceh mengaplikasikan Qanun No 3 Tahun 2013 tentang bendera dan lambang. Jika nantinya Pemerintah Pusat (Jakarta) membatalkan Qanun No 3 Tahun 2013 dengan PP, maka Pemerintah Aceh dapat melakukan gugatan ke lembaga peradilan. Tindakan seperti ini lebih “meu aneuk agam” dari pada menerima dialog sebelum mulai berperang.

Belajarlah dari ketegasan Wali Hasan Tiro, jangan sampai sepeninggal beliau Aceh porak-poranda. Kami rakyat masih menunggu  ketegasan pemerintah, jangan NATO (No Action Talk Only). Semoga sesegera mungkin bendera Aceh akan berkibar bersanding dengan bendera merah putih di gedung dewan dan di kantor gubernur kita tercinta. “Karena pemerintah sudah memulai, kewajiban pemerintah untuk menuntaskan!”.

Penulis Ibu Rumah Tangga (Cut Meutia) tinggal di Meurah Mulia Aceh Utara (sumber:atjehpost.com)

No comments:

Post a Comment

Terimakasih atas komentar nya