Kampanye, antarafoto.com |
Hamid, bukan orang baru dalam mencoblos dan ikut serta dalam pemilu. Buruh tani ini, setidaknya sudah mengikuti pemilu sejak tahun 1971, saat pertama pemilu di gelar di Indonesia. Namun ada terbersit rasa kecewa dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Karena tidak ada perubahan apa –apa bagi kehidupannya. ”Kalau kerja saya menderes, ya tetap menderes” Katanya.
Pria beranak enam ini, hingga saat ini belum memiliki rumah tempat tinggal, ia terpaksa menumpang di gedung SD di desanya. Harun adalah korban perang. Karena kondisi keamanan tahun 2000 Harun mengungsi. Sepulang dari sana, rumah panggungnya di Bate VIII tinggal tiang. Papan lantai, dan dinding sudah tak ada lagi.
”Sejak tahun 2006 saya urus ke BRA, hingga sekarang belum ada kejelasan, ini mau pemilu lagi, mudah –mudahan partai local menang, biar ada perubahaan,” Harapnya sambil memandangi anaknya tanpa baju bermain debu.
Walau Harun sudah lama kecewa dengan pemilu sebelumnya, kehadiran partai local, memberi harapan kembali untuk dirinya.”Partai local harus menang, biar kita sejahtera.”
***
Pemilu pada 9 april mendatang di Aceh, memang berbeda dengan daerah lain di Indonesia, dan ini peristiwa yang pertama dalam sejarah Negara Indonesia. Pasalnya, Partai local sendiri lahir setelah penandatanganan MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005 silam. Dalam point 1.2 tentang Partisipasi Politik disebutkan:
“Sesegera mungkin, tetapi tidak lebih dari satu tahun sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini, Pemerintah RI menyepakati dan akan memfasilitasi pembentukan partai-partai politik yang berbasis di Aceh yang memenuhi persyaratan nasional. Memahami aspirasi rakyat Aceh untuk partai-partai politik lokal, Pemerintah RI, dalam tempo satu tahun, atau paling lambat 18 bulan sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini, akan menciptakan kondisi politik dan hukum untuk pendirian partai politik lokal di Aceh dengan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat…”
Point tersebut jelas menjadi rujukan bagi Rakyat Aceh untuk mendirikan partai politik lokal. Maka, perangkat hukum untuk menterjemahkan point tersebut dibuat dalam bentuk Undang-undang Pemerintahan Aceh (UU PA) dan PP No 20 tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal.
Partai-partai politik local bermunculan, seperti Partai Aceh (PA), Partai Aman Sejahtera (PAAS) Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA) Partai Rakyat Aceh (PRA) Partai Daulat Aceh (PDA) dan Partai Bersatu Aceh (PBA) Semuanya ingin berbuat sesuatu untuk rakyat Aceh. Mereka akan bertarung memperebutkan 2,3 juta suara rakyat Aceh.
Memenangkan Partai Lokal di Aceh dalam pemilu mendatang memilki makna tersendiri yang cukup khusus kepada seluruh rakyat Aceh, termasuk untuk memperkuat berbagai tahapan pelaksanaan butir-butir MoU (Memorendum of Understanding), serta menjadi momen dalam mempercepat upaya pembangunan Aceh.
Bertahun-tahun perang di Aceh, yang menyebabkan ribuan korban, Maka dengan lahirnya partai local tentunya membuka peluang bagi rakyat Aceh untuk mengurus diri sendiri. Beriring dengan itu peran pemerintah Jakarta di Aceh semakin sedikit dalam mengurusi Aceh.
Pemerintah pusat hanya berwenang seperti persoalan Pertahanan eksternal, fiscal dan moneter, hubungan internasional, keamanan nasional, bidang hukum atau kehakiman dan bidang kebebasan beragama. Sementara yang lain bisa di tentukan dan di kelola sendiri oleh Pemerintah Aceh bersama Rakyat Aceh.
Corong politik rakyat Aceh sudah terbuka. penentuan hanya tinggal beberapa hari lagi, untuk melihat siapa yang memenangkan pertarungan ini, apakah partai nasional atau local. ”Rakyat Aceh bodoh jika tak pilih Partai Lokal,” Ujar Tarmizi AG , Aktivis World Acehnese Association ( WAA ) berpusat di Denmark. (***)
semoga membawa perubahan bagi rakyat aceh
ReplyDelete