UNDANG UNDANG PEMERINTAH ACEH YANG MASIH BETENTANGAN DENGAN MoU HELSINKI

Kalimat kunci MoU-Helsinki “ Pemerintah RI dan GAM tidak akan mengambil tindakan yang tidak konsisten dengan rumusan atau semangat Nota Kesepahaman ini”. 

Undang-undang Pemerintah Aceh yang telah disahkan menjadi Undang-Undang oleh DPR RI pada 11 Juli 2006 di Jakarta, semestinya bukanlah sekedar produk hukum, melainkan terkait erat dengan komitmen RI-GAM untuk menyelesaikan konflik Aceh secara damai, menyeluluh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua (resolusi konflik) sebagaimana tercantum dalam alinea pertama MoU Helsinki. Terwujud atau tindaknya perdamaian abadi di Aceh sangatlah tergantung kepada UU-PA. Jika UU-PA sesuai dengan MoU Helsinki Insya Allah perdamaian, keadilan dan pemerintah yang baik (good governance) akan tegak. Sebaliknya, UU-PA yang tidak sesuai dengan MoU Helsinki akan mengancam perdamaian, serta tidak melahirkan pemerintahan yang baik dan keadilan di Aceh. 

Jika kita baca secara kritis, beberapa isi pokok dan point-point dalam UU-PA yang telah di sahkan dalam sidang paripurna DPR-RI, banyak yang bertentangan dengan MoU Helsinki, termasuk ada beberapa point (pasal, ayat, huruf) yang saling bertentangan (inkosistensi), yaitu antara lain: 

  1. Tidak dimasukkan MoU Helsinki sebagai landasan filosofis dan politis dalam rangka mewujudkan perdamaian abadi dan penyelesaian konflik Aceh dirujukan menimbang; 
  2. Tidak dicantumkannya batas astronomis Aceh merujuk batas 1 Juli 1956 pada koordinat 20-60 lintang utara, 950-980 lintang selatan (Pasal 3 UU-PA dan Butir 1.1.4 MoU Helsinki); 
  3. Pemerintah RI masih mengintervensi kewenagan Pemerintah Aceh dalam Penbentukan kawasan khusus di Aceh (Pasal 4 UU-PA dan butir 1.1.2 huruf a MoU Helsinki); 
  4.  Penambahan Kewenagan Pemerintah RI dalam urusan pemerintah yang bersifat nasional selain 6 hal yang menjadi kewenangan (Pasal 7 Ayat (2) UU-PA dan butir 1.1.2 huruf a MoU Helsinki); 
  5. Kebijakan meyangkut Aceh yang di buat Pemerintah RI/DPR-RI hanya di lakukan dengan konsultasi dan pertimbangan (bukan persetujuan)Pemerintah Aceh/DPR Aceh (Pasal 8 UU-PA dan butir 1.1.2 huruf b,c dan d MoU Helsinki); 
  6. Pemerintah RI masih mengintervensi dan mengurangi kewenangan Pemerintah Aceh dengan cara menetapkan norma, standar dan prosedur serta pengawasan. Pengaturan dan pengawasan tersebut sama saja dengan istilah” melepas kepala tetapi tetap memegang ekor”. (Pasal 11 UU-PA dan butir a MoU Helsinki). Pasal ini berakibat pada kewenangan yang lebih luas pada Pemerintah RI untuk mengatur kewenangan Aceh dan Pasal-pasal berikutnya; 
  7. Pengelolaan Sumber Daya Alam sebagaimana MoU Helsinki seharusnya menjadi kewenangan penuh Pemerintah Aceh, bukan sekedar menjadi kewenangan yang diserahkan kepada Aceh. (Pasal 159); 
  8. Pengelolaan minyak dan gas bumi sebagaimana MoU Helsinki menjadi kewenangan penuh Pemerintah Aceh, bukan di kelola bersama Pemerintah RI (Pasal 160); 
  9. Tugas dan peran TNI tidak dibatasi untuk menjaga pertahanan luar, tetapi disamarkan dengan istilah Pertahanan Negara. Ini bertentangan dengan MoU Helsinki (Pasal 202 UU-PA dan butir 4.11 MoU Helsinki); 
  10. Penetapan TNI di pangkalannya masing-masing (bukan lagi di Koramil,Kodim, Korem dan Kodam) untuk tujuan menjaga pertahanan luar tidak disebutkan dalam UU-PA (Pasal 202 UU-PA dan butir 4.11 MoU Helsinki); 
  11. Peradilan sipil tidak diberlakukan bagi TNI yang melakukan kejahatan sipil, padahal ini sangat bertentangan MoU Helsinki (Pasal 203 UU-PA dan Butir 1.4.5 MoU Helsinki); 
  12. Wali Nanggroe hanya dibuat sekedar Lembaga Adat dan Budaya, padahal MoU Helsinki tidak membatasi pada peran Adar dan Budaya saja (Pasal 96 UU-PA dan Butir 1.1.7 MoU Helsinki); 
  13. Peradilan HAM yang lebih mundur dari UU/26/2000 tentang peradilan HAM, karena tidak berlaku surut (retroaktif), sehingga para pelanggar HAM di Aceh pada masa lalu tidak dapat disentuh oleh hukum (impunitas).(Pasal 227 UU-PA dan Butir 2.2 MoU Helsinki); 
  14. UU-PA tidak memasukkan jaminan pelaksanaan hak-hak sipil dan politik dan ekonomi, sosial, budaya sesuai kovenan internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagaimana tertulis dalam MoU Helsinkin( Butir 2.1 MoU Helsinki); 
  15. Masih banyak dijumpai istilah “Daerah Aceh” dalam pasal dan Ayat UU-PA menyangkut pengaturan kewenangan Pemerintah Aceh. Sebetulya cukup istilah “Aceh“ saja. Tidak sesuai dengan penamaan Aceh dan Pemerintah Aceh; 
  16. Status Qanun dalam mengatur kewenangan Aceh tidak mutlak, hampir semuanya di sertai kata-kata “ berpedoman pada peraturan perundang-undangan” dan dapat dibatalkan lansung oleh Pemerintah (tanpa diuji di Mahkamah Agung) ketentuan ini lebih mundur dari posisi Qanun dalam UU 18/2001 Otonomi Khusus Aceh; 
Selain itu, beberapa point dalam UU-PA malah lebih mundur dari UU 18/2001 tentang Otonomi Khusus Aceh, UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM.

Permasalahn masalahan tersebut perlu di bawa ke perundingan RI & GAM yang dimediasi Crisi Management Inisiative (CMI).

Sumber: Aliansi Masyarakat Sipil Penyelamat UU-PA